PERISTIWA
RESISTENSI DAN
RESURJENSI HAMA PADA TANAMAN
OLEH:
I GEDE KRISNA
WARDANA
NIM.
1606541102
PROGRAM STUDI
AGROEKOTEKNOLOGI
F A K U L T A
S P E R T A N I A N
UNIVERSITAS
UDAYANA
2017
Resistensi hama ialah kemampuan suatu populasi
hama yang terseleksi untuk tahan ( tidak mati ) terhadap perlakuan suatu
pestisida pada dosis lebih tinggi dari yang biasanya diperlakukan pada suatu
populasi hama yang rentan (susceptible), dimana kemampuan ini akan di turunkan
pada generasi selanjutnya. Timbulnya ketahanan hama terhadap pemberian pestisida yang
terus menerus, merupakan fenomena dan konsekuensi ekologis yang umum dan logis ( Ridwan. J. 2006). Munculnya resistensi adalah sebagai
reaksi evolusi menghadapi suatu tekanan (strees). Karena hama terus menerus
mendapat tekanan oleh pestisida, maka melalui proses seleksi alami, spesies
hama mampu membentuk strain baru yang lebih tahan terhadap pestisida
tertentu yang digunakan petani. Pada tahun 1947, dua tahun setelah penggunaan
pestisida DDT, diketahui muncul strain serangga yang resisten
terhadap DDT. Dari penelaahan sifat-sifat hama, hampir setiap individu
memiliki potensi untuk menjadi tahan terhadap pestisida. Hanya saja, waktu dan
besarnya ketahanan tersebut bervariasi, dipengaruhi oleh jenis hama, jenis
pestisida yang diberikan, intensitas pemberian pestisida dan faktor-faktor
lingkungan lainnya. Oleh karena sifat resistensi dikendalikan oleh faktor
genetis, maka fenomena resistensi adalah permanent, dan tidak dapat kembali
lagi. Resistensi hama
berkembang
setelah adanya proses seleksi yang berlangsung selama banyak generasi. Karena pengguna
pestisida sering menganggap bahwa individu-individu hama yang tetap hidup belum menerima dosis letal, petani mengambil
tindakan dengan meningkatkan dosis pestisida dan frekuensi aplikasi. Tindakan
ini yang mengakibatkan semakin menghilangnya proporsi individu yang peka.
Tindakan ini meningkatkan proporsi individu-individu yang tahan dan tetap
hidup. Dari generasi ke generasi proporsi individu resisten dalam suatu
populasi akan semakin meningkat dan akhirnya populasi tersebut akan didominansi
oleh individu yang resisten.
Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya resistensi meliputi
faktor genetik, biologi dan operasional (Georgiou, 1983). Faktor genetik antara
lain meliputi frekuensi, jumlah dan dominansi alel resisten. Faktor
biologi-ekologi meliputi perilaku hama, jumlah generasi per tahun, keperidian,
mobilitas dan migrasi. Faktor operasional meliputi jenis dan sifat pestisida yang digunakan,
jenis-jenis pestisida yang digunakan sebelumnya,
persistensi, jumlah aplikasi dan stadium sasaran, dosis, frekuensi dan cara
aplikasi, bentuk formulasi ,dan yang lain. Faktor genetik dan biologi-ekologi
lebih sulit dikelola dibandingkan faktor operasional. Faktor genetik dan
biologi merupakan sifat asli hama sehingga di luar pengendalian kita. Dengan
mempelajari sifat-sifat tersebut dapat dihitung risiko munculnya populasi
resisten suatu jenis hama.
Mekanisme
timbulnya resistensi hama dapat dijelaskan sebagai berikut. Apabila suatu
populasi hama yang terdiri dari banyak individu, dikenakan pada suatu tekanan
lingkungan, misalnya penyemprotan bahan kimia beracun, maka sebagian besar
individu populasi tersebut akan mati terbunuh. Tetapi dari sekian banyak
individu, ada satu atau beberapa individu yang mampu bertahan hidup.
Tidak terbunuhnya individu yang bertahan tersebut, mungkin
disebabkan terhindar dari efek racun pestisida, atau sebahagian
karena sifat genetik yang dimilikinya. Ketahanan secara genetik ini, mungkin
disebabkan kemampuan memproduksi enzim detoksifikasi yang mampu
menetralkan daya racun pestisida. Keturunan individu tahan ini, akan
menghasilkan populasi yang juga tahan secara genetis. Oleh karena itu,
pada generasi berikutnya anggota populasi akan terdiri dari lebih banyak
individu yang tahan terhadap pestisida. Sehingga muncul populasi hama yang
benar-benar resisten. (Untung, K. 1993).
Resurgensi hama adalah terjadinya peristiwa peningkatan
populasi hama sasaran yang sangat
mencolok, lebih tinggi daripada tingkat populasi
sebelumnya,
sehingga jauh melampaui ambang ekonomi segera setelah dilakukan aplikasi suatu pestisida
tertentu (Untung, K. 1984).
Peristiwa resurgensi hama terjadi
apabila setelah diperlakukan aplikasi pestisida, populasi hama menurun
dengan cepat dan secara tiba-tiba justru meningkat lebih tinggi dari jenjang populasi sebelumnya. Resurgensi
sangat mengurangi efektivitas dan efesiensi pengendalian dengan pestisida karena kegiatan pengendalian tidak mampu menurunkan populasi hama tetapi malahan meningkatkan
populasi.
Di Indonesia, beberapa jenis-jenis hama
yang diketahui resisten terhadap pestisida antara lain hama Kubis (Plutella
xylostella),
hama Kubis (Crocidolomia pavonana),
hama penggerek umbi Kentang (Phthorimaea operculella),
dan Ulat Grayak (Spodoptera litura). Demikian
juga hama hama-hama tanaman padi seperti wereng coklat (Nilaparvata lugens),
hama walang sangit (Nephotettix inticeps) dan ulat penggerek batang
(Chilo suppressalis). dilaporkan mengalami peningkatan ketahanan
terhadap pestisida. Dengan semakin tahannya hama terhadap pestisida, petani
terdorong untuk semakin sering melakukan penyemprotan dan sekaligus melipat
gandakan tinggkat dosis. Penggunaan pestisida yang berlebihan ini dapat
menstimulasi peningkatan populasi hama
(resurgensi) (Oka, Ida Nyoman. 1995).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar