BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kubis-kubisan
(Brassica oleracea L) merupakan salah satu suku tumbuhan liar yang berbunga
yang tumbuh di daerah yang zona iklimnya sedang hingga di daerah tropika dan
banyak berasal dari daerah subtropis dan telah lama sekali dibudidayakan di
Indonesia. Dalam keluarga ini terdapat sejumlah jenis sayuran yang banyak
berguna bagi kehidupan manusia. Cruciferae adalah nama yang lebih
dahulu digunakan yang artinya "pembawa silangan" yang
mencerminkan ciri khas suku ini karena memiliki empat
kelopak bunga yang tersusun menyerupai tanda silang. Tanaman ini
berasal dari daerah Eropa dan Asia kecil, terutama tumbuh di daerah Great
Britain dan Mediterranean.
Semula
tanaman kubis liar tumbuh menahun (perennual) dan dua musim (biennual) kemudian
oleh orang Eropa dipanen biji-bijinya. Dari sejumlah 5.000 tanaman diperoleh
70.000 biji kubis dan selanjutnya ditanam kembali. Pada tahap ini ditemukan
turunan tanaman kubis yang akar-akarnya membengkak dan daun-daunnya dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan.
Tanaman
kubis (Brassicae oleraceae) termasuk family Cruciferae,
KlasDicotyledoneae, Subdivisi Angiospermae dan
Divisi Embriophyta (Pracaya, 2001). Kubis sebagai sayuran mempunyai
peran penting untuk kesehatan. Kubis banyak mengandung vitamin dan mineral yang
sangat dibutuhkan oleh manusia. Sebagai sayuran, kubis dapat membantu
pencernaan, menetralkan zat-zat asam dan memperlancar buang air besar.
Tanaman
kubis merupakan tanaman semusim yang di Indonesia banyak ditanam di daerah
pegunungan, dengan ketinggian ±800 m di atas permukaan laut (dpl) dan mempunyai
penyebaran hujan yang cukup setiap tahunnya. Sebagian kubis tumbuh baik pada
ketinggian 100-200 m dpl, tetapi jumlah varietasnya tidak banyak dan tidak
dapat menghasilkan biji. Pada daerah yang ketinggiannya di bawah 100 m, tanaman
kubis tumbuh kurang baik.
Pada
umumnya kubis ditanam dengan pola tanam secara monokultur atau tumpangsari.
Waktu tanam kubis yang paling baik adalah pada awal musim hujan atau awal
musim kemarau. Meskipun demikian, kubis dapat ditanam sepanjang musim atau
tahun asalkan kebutuhan airnya terpenuhi. Cara budidaya tanaman kubis adalah
pengolahan tanah atau pembersihan gulma, penyulaman, pemupukan, pemanenan, dan
pergiliran tanaman (Rukmana, 1994).
Realita
yang ada, tidak semua petani di sentra pertanaman kubis menanam kubis.
Keengganan petani menanam kubis dipicu oleh alasan klasik, takut terserang
hama dan penyakit. Tanaman kubis yang akan tumbuh baik pada kelembaban yang
cukup tinggi (60-69%) dan suhu cukup rendah memang dapat memunculkan berbagai
penyakit, terutama bakteri dan cendawan. Kedua patogen inilah yang merupakan
patogen utama pada kubis (Pracaya, 2001).
Tanaman
kubis-kubisan (Brassicaceae) merupakan komoditas yang banyak diusahakan oleh
petani di Indonesia. Luas panen kubis pada tahun 2008-2009 mencapai lebih dari
66.000 hektar/tahun dengan hasil produksi lebih dari 1,33 juta ton/tahun. Di
Indonesia tanaman kubis-kubisan biasanya diusahakan di daerah dataran tinggi
seperti di Sumatra Barat memiliki luas lahan pertanaman kubis sekitar 1009Ha
pada tahun 2002 dengan hasil produksi mencapai 64.760ton/Ha.
Faktor
yang merupakan penghambat produksi tanaman kubis-kubisan adalah hama yang dapat
menurunkan hasil produksi sampai dengan 100%. Sala satu hama yang sering
menyerang tanaman kubis-kubisan ini adalah ulat tritip/ulat daun (Plutella
xylostella). Ulat ini memakan bagian bawah daun sehingga tinggal
epidermis bagian atas saja. Ulatnya kecil kira-kira 5 mm berwarna hijau. Jika
diganggu akan menjatuhkan diri dengan menggunakan benang. Ulat ini cepat sekali
kebal terhadap satu jenis insektisida. Pengendalian dapat dilakukan dengn cara
“pithesan” yaitu mengambili ulat yang terdapat pada tanaman kubis, kemudian
dipencet sampai mati.
Penyebaran
hama ini meliputi Asia, Afrika, Australia, dan kepulauan Pasifik.Daerah
penyebarannya di Indonesia meliputi Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi
Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTB, Sulawesi
Utara. Larva yang menyerang tanaman yang sedang membentuk krop. Hal
ini akan menurunkan kualitas dan kuantitas produksi pada
famili Brassicaceae.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apakah ada
jeis-jenis hama dan musuh alami pada tanaman kubis ?
2.
Apa saja langkah-langkah yang dilakukan untuk melakukan pengendalian hama pada
tanaman kubis ?
1.3
Tujuan Praktikum
1. Untuk mengetahui
jenis hama dan musuh alamai pada tanaman kubis
2.
Untuk mengetahui langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk pengendalian hama tanaman kubis.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Ulat tritip (Plutella xylostella)
Plutella
xylostella disebut juga dengan ulat tritip atau ngengat punggung berlian
(Pracaya,2001). Serangga ini termasuk kedalam phylum Arthopoda, kelas insekta,
ordo Lepidoptera, famili plutellidae, genus plutulla, spesies plutella
xylostella dan nama sinonimnya P.
maculipenisdan P.cruceferarum. Hama ini bersifat kosmopolit yang banyak
terdapat di daerah tropis dan subtropics seperti Indonesia, Eropa, India,
Selandia Baru, Australia, Amerika Selatan dan Amerika Utara (Kalshovn, 1981).
Serangga
ini pada umumnya dikenal sebagai “diamond back moth” karena
terdapat tiga titik seperti intan pada sayap
depannya (Kalshoven, 1981). Imago P. xylostella berupa ngengat
yang ramping dan berwarna coklat kelabu. Panjangnya 1,5–1,7 mm dengan rentang
sayap 14,5–17,5 mm. Bagian tepi sayap depan berwarna terang.
Larva Plutella
xylostella biasanya besembunyi dibagian bawah daun dan biasanya yang
dimakan hanya daging daun tetapi kulit ari daun sebelah atas tidak dimakan,
hingga kelihatan seperti bercak-bercak putih dan berlubang. Ketika serangan
hebat maka yang tertinggal hanya tulang daun saja. Selain menyerang daun hama
ini juga menyerang titik tumbuh yang dapat menyebabkan terhentinya pertumbuhan
dari tanaman. Cirri khas dari larva ini adalah bergerak cepat apabila merasa
ada bahaya disekelilingnya, misalnya tersentuh, kemudian larva tersebut
menjatuhkan tubuhnya dari daun dengan menggantung menggunakan benang sutra
(Pracaya, 2008).
Tingkat
kerusakan yang ditimbulkan oleh larva ini tergantung pada instar larva yang
menyerang tanaman, semakin besar larva yakni pada instar 3 dan instar 4 maka
tingkat kerusakan semakin tinggi. Bila populasi tinggi semakin berat kerusakan
yang ditimbulkan dengan memakan seluruh daun pada tanaman dengan menyisakan
tulang daun saja pada tanaman yang belum membentuk krop. Pada populasi yang
tinggi larva juga dapat menyerang krop bila ulat krop sebagai pesaingnya tidak
ada pada tanaman .
Telur
Plutella xylostella ini berbentuk oval yang berlangsung secara tunggal dan
berukuran 0,6 x 0,3 mm, berwarna kuning. Biasanya telur diletakkan secara
tunggal ataupun berkelompok kecil yang terdiri dari 3-4 butir (Rukmana, 1994).
Pada saat telur akan menetas maka telur akan berubah menjadi warna coklat
keabu-abuan. Produksi telur tiap imago dapat mencapai 300 butir. Stadium telur
biasanya berlangsung selama 12 ahri (Othman, 1982).
Larva
Plutella xylostella ini terdiri dari 4 instar, yang berlangsung biasanya selama
12 hari. Larva instar 1 memiliki panjang 1 mm dan lebar 0,5 mm, memiliki warna
kekuning-kuningan dan kepalanya berwarna gelap berlangsung selama 4 hari. Larva
instar 2 memiliki panjang 2 mm dan lebar 0,5 mm, berwarna hijau kekuningan dan
berlangsung selama 2 hari. Larva instar 3 panjangnya 4-6 mm dan lebarnya 0,75
mm, berlangsung selama 3 hari. Larva instar 4 panjangnya 8-10 mm dan lebarnya
1-1,5 mm memiliki warna hijau dan berlangsung selama 3 hari (Rukmana, 1994).
Perkembangan stadia larva sangat dipengaruhi oleh ketinggian dan temperatur.
Semakin rendah temperatur maka semakin bertambah lama stadia tiap instar larva.
Temperatur optimum untuk perkembangan stadian larva adalah 20-25oC dengan
kelembaban 50-60oC (Haryono, 1996).
Imago
larva ini berupa ngengat kecil berwarna coklat kelabu. Imago pada betina agak
pucat sedangkan yang jantan berukuran lebih kecil dan berwarna lebih cerah dari
imago betina (Sudarmo,1998). Ngengat betina dapat dibedakan dengan ngengat
jantan dengan melihat cirri–cirinya. Ngengat betina
warnanya tiga berlian pada sayap depan dari ngengat yang baru
muncul dari pupa lebih gelap dari sayap depan jantan. Segmen anal
(segmen terakhir dari abdomen) tidak terbelah dua dan abdomen membesar di
tengah . Dalam kedaan terentang, sayap ngengat betina lebih besar dibandingkan
sayap ngengat jantan. Ciri–ciri ngengat jantan yaitu warna tiga berlian dari
ngengat yang baru muncul dari pupa lebih putih dari ngengat betina. Segmen anal
terbelah dua kalau dilihat dari pndangan ventral. Dalam keadaan terentang sayap
lebih pendek, lebih sempit dan pararel atau memanjang (Haryono, 1996).
Panjang
tubuh imago termasuk kepalanya adalah 1,5-1,7 mm dalam rentang sayap 14,5 –
17,5 mm, bagian tepi sayap memiliki warna terang. Lama hidup rata-rata
berlangsung selama 20 hari. Imago dapat berpindah dari satu tempat ke tempat
lainnya yang sesuai dengan habitatnya (Rukmana, 1994). Daur
hidup Plutella xylostellaberlangsung sekitar 2 smapai 4 minggu mulai dari
telur hingga menjadi imago. Umur Pxylostella di daerah tropis lebih pendek
dibandingkan daerah dingin. Pada daerah dengan ketinggian 250 m dari permukaan
laut, perkembangan hama ini membutuhkan waktu 12 samapai 15 hari. Sedangkan
pada ketinggian 1.100 m dari permukaan laut perkembangannya 20 samapai 25 hari
(Kalshoven, 1981). Serangan hama ini mengakibatkan kerugian yang cukup besar,
yakni mencapai 58% - 100% (Rukmana,1994).
Penanganan Plutella
xylostella hendaknya dilakukan secepat mungkin segera setelah diketahui
keberadaannya. Sebab, jika penanganan tidak segera dilakukan, dalam waktu 4 – 5
hari seluruh tanaman dapat habis dimakannya.
2.2
Hama Keong Mas (Pamacea canalicula L.)
Keong mas bersifat herbivora yang pemakan
segala pertanaman dan sangat rakus, yang disukai tanaman yang masih muda dan
lunak seperti padi, sayuran, enceng gondok, rumput-rumputan. Apabila habitatnya
dalam keadaan kekurangan air maka keong mas akan membenamkan diri pada lumpur
yang dalam, hal ini dapat bertahan selama 6 bulan. Apabila habitatnya sudah ada
airnya maka keong mas akan muncul kembali ke permukaaan tanah pada saat
pengolahan lahan. Keong mas mempunyai jenis kelamin yaitu jantan dan betina,
tidak seperti jenis siput lainnya. Keong mas siap melakukan kopulasi pada saat
kondisi air terpenuhi pada areal persawahan. Keong mas dewasa meletakkan telur
pada tempat-tempat yang tidak tergenang air (tempat yang kering) dan melakukan
bertelur pada malam hari pada rumpun tanaman, tonggak, saluran pengairan bagian
atas dan rumput-rumputan.
Telur keong mas diletakkan secara
berkelompok berwarna merah jambu seperti buah murbei sehingga disebut juga
keong murbei. Keong mas selama hidupnya mampu menghasilkan telur sebanyak 15-20
kelompok, yang tiap kelompok berjumlah kurang lebih 500 butir, dengan
persentase penetasan lebih dari 85%. Waktu yang dibutuhkan pada fase telur
yaitu 1 - 2 minggu, pada pertumbuhan awal membutuhkan waktu 2 - 4 minggu lalu
menjadi siap kawin pada umur 2 bulan. Keong mas dewasa berwarna kuning
keemasan. Dalam satu kali siklus hidupnya memerlukan waktu antara 2-2,5 bulan.
Keong mas dapat mencapai umur kurang lebih 3 tahun. Keong mas menyerang tanaman
padi yang masih muda yang baru ditanam sampai 15 hari setelah tanam (HST)
dengan cara memotong pangkal batang padi, sehingga tanaman menjadi rusak. Hama
Keong mas perlu diwaspadai dan diantisipasi karena berkembangbiak dengan cepat
dan menyerang tanaman yang masih muda dan menjadi hama utama pada tanaman padi
terutama pada daerah yang mempunyai pola tanam padi terus menerus.
Keong mas hidup biasanya di kolam, rawa,
sawah irigasi, saluran air dan areal yang selalu tergenang. Keong mas mengubur
diri dalam tanah yang lembab selama musim kemarau. Keong mas bisa berdiapause
selama 6 bulan, kemudian aktif kembali jika tanah diairi. Keong mas bisa
bertahan hidup pada lingkungan yang ganas seperti air yang terpolusi atau
kurang kandungan oksigen.
2.3
Kutu Daun (Aphis brassicae L.)
Panjang
telur Kutu daun berukuran 0,7 mm dan tebal 0,15 mm, berwarna hijau muda atau
hijau kuning diliputi semacam tepung berlilin, namun setelah 17 beberapa hari
berubah menjadi hitam mengkilat. Kutu daun yang baru menetas tidak mempunyai
sayap dan berwarna hijau. Panjang aphis berkisar 1,8 — 2,3 mm. Kutu daun hidup
berkelompok di bawah daun dan daur hidup aphis 40 sampai 50 hari (Pracaya, 1999). Tingkat kesuburan
dari satu betina kutu daun bisa menghasilkan 40 nimpha. Periode nimpha
berlangsung selama 7 — 1 2 hari. Kutu daun menyerang tanaman kubis dengan
menusukkan alat mulut yang runcing dan menghisap cairan selnya, sehingga
menyebabkan daun menguning dan krop berbintik-bintik tampak kotor. Kutu daun
lebih memilih untuk makan pada sisi bawah daun atau pada sisi bawah daun dekat
titik tumbuh.
2.4
Ulat Krop Kubis (Crocidolomia pavonana
Fabricius)
Crocidolomia pavonana
merupakan hama yang menyerang pertanaman kubis dari munculnya krop hingga
panen. Imago C. pavonana meletakkan telur secara berkelompok dan saling tumpang
tindih pada permukaan bawah daun dimana menyerupai deretan genting rumah.
Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor ngengat betina bervariasi antara 55
hingga 285 butir. Sari (2002) melaporkan bahwa persentase penetasan telur
adalah 62,2-100% dan persentase individu yang dapat bertahan hidup sampai
menjadi imago adalah 44,0-88,6% dengan rata-rata 67,8%. Lama stadium telur 46
hari, telur yang baru diletakkan berwarna hijau kemudian akan berubah selama 2
hari menjadi kuning kehijauan setelah itu berwarna coklat kemerahan dan akan
berwarna hitam kelabu sebelum menetas (Korinus, 1995). Larva C. pavonana berwarna
hijau muda kecoklatan. Larva tersebut memiliki lima instar. Sepanjang tubuh
larva terdapat garis-garis putih pada bagian sisi dan bagian atas larva ini.
Larva muda (instar ke-1 sampai instar ke-2) pada umumnya hidup bergerombol pada
permukaan bawah daun kubis kemudian pada larva instar ke-3 akan menyebar menuju
ke titik tumbuh. Sedangkan larva instar ke- 4 dan instar ke-5 akan bersifat
malas dan selalu menghindari cahaya matahari (Sastrosiswojo dkk., 2005). 10
Larva instar I memiliki panjang yaitu mencapai 1,08-4,5 mm, instar II dengan
panjang mencapai 3,0-7,0 mm, instar III yaitu 7-12 mm, kemudian instar IV
12,0-16,0 mm sedangkan larva instar V berukuran 13,0-21,0 mm (Suharti, 2000).
Masing-masing larva instar I sampai instar V berbeda yaitu pada larva instar I
dan instar II berwarna hijau muda kemudian pada instar III sampai instar V
berwarna hijau muda namun pada tubuhnya akan terlihat garis hijau membujur pada
ventral dan akan semakin terlihat jelas terdapat bintik-bintik kecokelatan pada
bagian ventral. Stadium larva pada masing-masing instar tersebut dengan
rata-rata periode berturut-turut yaitu 2,6 hari; 2,4 hari; 2 hari; 2,3 hari,
dan 4,7 hari.
Menurut
Sastrosiswojo dkk.(2005) bahwa periode larva pada instar I sampai instar V
adalah 11-17 hari dengan rata-rata 14 hari pada suhu 26-33,2 °C. Larva akan
bergerak lamban dan tidak aktif makan pada saat larva tersebut mendekati masa
prapupa. Serangga dewasa C. pavonana aktif pada malam hari (nokturnal). Ngengat
akan bersembunyi pada siang hari di celah-celah antara daun kubis karena
ngengat tidak tertarik pada cahaya (Kalshoven, 1981). Imago betina berwarna
coklat dengan sayap depan berwarna sedikit gelap, sedangkan imago jantan
berwarna coklat lebih gelap dengan sayap depan bercorak lebih jelas (Sari, 2002).
Perbedaan yang lainnya yaitu ngengat betina memiliki abdomen yang lebih besar
namun abdomen ngengat jantan lebih pendek dimana ujung abdomen lebih tumpul dan
lebih banyak ditumbuhi rambut-rambut halus (Suharti, 2000). Ukuran panjang
tubuh ngengat jantan berkisar 10,4 mm dan ngengat betina 9,6 mm (Sastrosiswojo
dkk., 2005). Lama hidup imago ngengat C. pavonana yaitu 9,4 hari (Sari, 2002).
Siklus hidup C. pavonana berkisar antara 22 sampai 30 hari (Kalshoven, 1981).
2.5
Laba-laba (Salcitus sp)
Laba-laba terjadi dalam berbagai macam
ukuran dari 6 milimeter sampai 10 – 12 inci. Semua laba-laba memiliki delapan
kaki, meskipun spesies semut-meniru beberapa menggunakan kaki depan mereka
untuk meniru antena, yang kurang laba-laba. Laba-laba adalah invertebrata (yang
berarti mereka tidak memiliki tulang belakang). Mereka adalah hewan predator
yang tidak memiliki sayap dan tidak ada bagian mengunyah mulut. Sebaliknya,
seperti arakhnida lain, mereka memiliki belalai kecil yang mereka gunakan untuk
menyedot bagian cair dari mangsanya. Namun, laba-laba bisa makan sutra mereka
sendiri. Laba-laba tidak serangga (serangga memiliki tiga bagian tubuh dan enam
kaki).
Laba-laba memiliki dua bagian tubuh, bagian
depan keras, kepala dan dada, yang disebut cephalothorax atau prosoma dan
bagian belakang yang lembut, perut, disebut opisthosoma tersebut. Perut dan
cephalothorax terhubung dengan pinggang tipis yang disebut pedikel atau somite
pregenital, suatu sifat yang memungkinkan laba-laba untuk memindahkan perut ke segala
arah. Pinggang ini sebenarnya segmen terakhir
(somite) sefalotoraks dan hilang di sebagian besar anggota lain dari
Arachnida (dalam kalajengking itu hanya terdeteksi dalam embrio).Laba-laba
memiliki dua palps (digunakan untuk perawatan dan pemberian makan) yang melekat
pada sefalotoraks.
Famili Staphylinidae sebagian besarnya
memiliki peranan sebagai pemangsa (predator) pada telur, larva, pupa, beberapa
kutu daun dan tungau. Trochosa sp, Lycosa
sp, Pardosa
sp merupakan famili Lycosidae yaitu Laba-laba serigala dan peloncat, Laba-laba
ini memakan ngengat, ulat dan serangga lain. Setelah menangkap serangga,
laba-laba menyuntikkan racun yang melumpuhkan korban, kemudian mengisap cairan
tubuh korban. Sceliphron sp dari famili Sphecidae bukan merupakan
serangga sosial, tetapi merupakan pemangsa ulat Lepidoptera dan laba-laba
(Purnomo, 2010). Formica sp ini
banyak terdiri dari predator, semut merupakan musuh alami karena menyerang ulat
dan beberapa macam hama lain, contohnya Helopeltis yaitu hama pada apel.
BAB
III
METODOLOGI
PRAKTIKUM
3.1
Waktu dan Tempat
Praktikum
Sistem peramalan hama dan penyakit ini dilakukan pada hari Jumat, 11 Mei 2018,
pada pukul 10.00 s/d selesai. Dilakukan di Ds. Katung, Kec. Kintamani,
Kab.Bangli, Prov. Bali.
3.2
Bahan dan Alat
Pada
praktikum bahan yang digunakan adalah berupa sampel tanaman yang terdapat pada
lahan kubis-kubisan. Dan alat yang digunakan pada saat praktikum adalah
alat-alat tulis dan plastik kantong sebagai wadah dari hama yang didapatkan
pada tanaman yang diamati di lapangan.
3.3
Cara Kerja
Pertama-tama
lakukan pengambilan sampel secara diagonal sebanyak 5 sampel, kemudian hitung dan
catat pada tiap sampel jenis hama yang didapatkan dan berapa jumlah hama yang
didapatkan.
3.4
Metoda
Metoda
yang dilakukan dalam pengambilan sampel adalah metode diagonal dengan mengambil
lima sampel tanaman kubis-kubisan secara diagonal. Yaitu dengan cara mengambil
4 sampel pada tiap sudut lahan dan 1 sampel di tengah lahan. Jadi semua sampel
berjumlah 5 sampel.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
Tabel.
Hama dan Musuh Alami pada Tanaman Kubis
Sample
|
Nama
Hama
|
Nama
Musuh Alami
|
Jumlah
Hama
|
Jumlah
Musuh Alami
|
1
|
Pupa
|
Laba-laba
|
2
|
-
|
Ulat
|
|
1
|
|
|
Keong
|
|
1
|
|
|
Plutella
|
|
-
|
|
|
Aphis
|
|
-
|
|
|
2
|
Pupa
|
Laba-laba
|
2
|
1
|
Ulat
|
|
1
|
|
|
Keong
|
|
1
|
|
|
Plutella
|
|
-
|
|
|
Aphis
|
|
2
|
|
|
3
|
Pupa
|
Laba-laba
|
-
|
-
|
Ulat
|
|
-
|
|
|
Keong
|
|
4
|
|
|
Plutella
|
|
3
|
|
|
Aphis
|
|
-
|
|
|
4
|
Pupa
|
Laba-laba
|
-
|
-
|
Ulat
|
|
-
|
|
|
Keong
|
|
-
|
|
|
Plutella
|
|
1
|
|
|
Aphis
|
|
-
|
|
|
5
|
Pupa
|
Laba-Laba
|
4
|
-
|
Ulat
|
|
-
|
|
|
Keong
|
|
-
|
|
|
Plutella
|
|
-
|
|
|
Aphis
|
|
20
|
|
Histogram Sample
Hama dan Musuh Alami

4.2
Pembahasan
Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan dengan tehnik diagonal sampling didapatkan lima
sample. Pada sample satu didaptkan banyaknya pupa yaitu berjumlah 2, hama ulat
berjumlah 1, keong berjumlah 1, kemudian pada sampel dua didapatkan banyaknya
pupa yaitu berjumlah 1, hama ulat berjumlah 1, keong berjumlah 1, aphis
berjumlah 2, selanjutnya pada sample tiga didapatkan banyaknya hama keong
berjumlah 4, plutella berjumlah 3, dan sampel empat didapatkan banyaknya hama
plutella yaitu berjumlah 1, serta pada sampel lima didapatkan hama aphis
berjumlah 20.
Dapat
dikatan bahwa larva plutella
xylostella biasanya besembunyi dibagian bawah daun dan biasanya yang
dimakan hanya daging daun tetapi kulit ari daun sebelah atas tidak dimakan,
hingga kelihatan seperti bercak-bercak putih dan berlubang. Ketika serangan
hebat maka yang tertinggal hanya tulang daun saja. Selain menyerang daun hama
ini juga menyerang titik tumbuh yang dapat menyebabkan terhentinya pertumbuhan
dari tanaman. Cirri khas dari larva ini adalah bergerak cepat apabila merasa
ada bahaya disekelilingnya, misalnya tersentuh, kemudian larva tersebut
menjatuhkan tubuhnya dari daun dengan menggantung menggunakan benang sutra
(Pracaya, 2008).
Tingkat
kerusakan yang ditimbulkan oleh larva ini tergantung pada instar larva yang
menyerang tanaman, semakin besar larva yakni pada instar 3 dan instar 4 maka
tingkat kerusakan semakin tinggi. Bila populasi tinggi semakin berat kerusakan
yang ditimbulkan dengan memakan seluruh daun pada tanaman dengan menyisakan
tulang daun saja pada tanaman yang belum membentuk krop. Pada populasi yang
tinggi larva juga dapat menyerang krop bila ulat krop sebagai pesaingnya tidak
ada pada tanaman. Telur Plutella xylostella ini berbentuk oval yang berlangsung
secara tunggal dan berukuran 0,6 x 0,3 mm, berwarna kuning. Biasanya telur
diletakkan secara tunggal ataupun berkelompok kecil yang terdiri dari 3-4 butir
(Rukmana, 1994).
Lebih
baik untuk menanam kubis dan brasika lain pada musim hujan, karena populasi
hama tersebut dapat dihambat oleh curah hujan. Irigasi. Apabila tersedia dapat
digunakan irigasi sprinkle untuk mengurangi populasi ulat daun kubis, apabila
pengairan demikian dilaksanakan pada petang hari, dapat membatasi aktivitas
ngengat. Sebaiknya tidak melakukan penanaman berkali-kali pada areal sama,
karena tanaman yang lebih tua dapat menjadi inokulum bagi tanaman baru. Apabila
terpaksa menanam beberapa kali pada areal sama, tanaman muda ditanam pada arah
angin yang berlawanan agar ngengat susah terbang menuju ke tanaman muda. Tempat
pembibitan harus jauh dari areal tanaman yang sudah tumbuh besar. Sebaiknya
pesemaian/bibit harus bebas dari hama ini sebelum transplanting ke lapangan.
Hama tersebut memiliki musuh alami berupa predator (Paederus sp., Harpalus
sp.), parasitoid (Diadegma semiclausum, Cotesia plutellae), dan patogen
(Bacillus thuringiensis, Beauveria bassiana) yang bila diaplikasikan dapat
menekan populasi dan serangannya.
Kemudian
hama keong mas bersifat herbivora yang pemakan segala pertanaman dan sangat
rakus, yang disukai tanaman yang masih muda dan lunak seperti padi, sayuran,
enceng gondok, rumput-rumputan. Apabila habitatnya dalam keadaan kekurangan air
maka keong mas akan membenamkan diri pada lumpur yang dalam, hal ini dapat
bertahan selama 6 bulan. Telur keong mas diletakkan secara berkelompok berwarna
merah jambu seperti buah murbei sehingga disebut juga keong murbei. Keong mas
selama hidupnya mampu menghasilkan telur sebanyak 15-20 kelompok, yang tiap
kelompok berjumlah kurang lebih 500 butir, dengan persentase penetasan lebih
dari 85%. Waktu yang dibutuhkan pada fase telur yaitu 1 - 2 minggu, pada
pertumbuhan awal membutuhkan waktu 2 - 4 minggu lalu menjadi siap kawin pada
umur 2 bulan. Keong mas dewasa berwarna kuning keemasan. Dalam satu kali siklus
hidupnya memerlukan waktu antara 2-2,5 bulan.
Pengendalian hama keong mas secara mekanis
dapat dilakukan dengan cara pengambilan dan pengumpulan telur dan keong mas
dilakukan pada pagi atau sore hari pada tempat-tempat yang tergenang. Memasang
plastik pada sekeliling persemaian dengan harapan keong mas tidak dapat masuk
ke dalam persemaian karena keong mas lebih menyukai tanaman yang muda.
Disamping itu keong mas tidak bisa merangkak ke persemaian disebabkan sifat
plastik yang halus sehingga kesulitan untuk masuk kepersemaian.Pemasangan
plastic harus sampai dasar tanah dan potongan kayu atau bilah ditancapkan di
bagian dalam plastik sehingga keong mas tidak bias masuk kepersemaian.
Secara
umum kutu daun (A. gossypii) berukuran antara 1-6 mm, tubuh lunak,
berbentuk seperti buah pear, pergerakan rendah dan biasanya hidup secara
berkoloni (bererombol). Perkembangan optimal terjadi
pada saat tanaman bertunas. Satu generasi berlangsung selama 6-8 hari
pada suhu 25ºC dan 3 minggu pada suhu 15ºC. Secara
visual, bentuk dan ukuran spesies-spesies kutu daun
ini serupa. Warna kutu daun (A. gossypii) hijau tua sampai hitam atau
kuning coklat. Umumnya aphids tidak bersayap, tetapi kadang yang dewasa
mempunyai sayap transparan (tembus cahaya). Kutudaun (A. gossypii) biasa
menularkan penyakit pada tanaman. Di dataran rendah tropis, perkembangan kutu
daun sangat subur, terutama pada waktu permulaan musim kemarau. Tunas-tunas
muda pun banyak dikerumuni aphis. Aphis mengeluarkan kotoran embun madu
sehingga mengundang cendawan jelaga, kutudaun juga mengeksekresikan embun madu.
Adanya embun madu yang dikeluarkan dapat dilihat dengan terdapatnya semut atau
embun jelaga yang berwarna hitam.
Di
alam kutu ini dikendalikan oleh musuh-musuh alami dari famili Syrpidae,
Coccinellidae, Chrysopidae. Secara kultur teknis, penggunaan mulsa jerami di
bedengan pembibitan jeruk dapat menghambat perkembangan populasi kutu. Untuk
pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida
berbahan aktif Dimethoate, Alfametrin, Abamektin dan Sipermetrin secara
penyemprotan terbatas pada tunas-tunas yang terserang dan apabila serangan
parah dapat dikendalikan dengan Imidaklopind yang diaplikasikan melalui saputan
batang.
Ulat
Krop Kubis (Crocidolomia pavonana) merupakan hama yang menyerang pertanaman
kubis dari munculnya krop hingga panen. Imago C. pavonana meletakkan telur
secara berkelompok dan saling tumpang tindih pada permukaan bawah daun dimana
menyerupai deretan genting rumah. Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor
ngengat betina bervariasi antara 55 hingga 285 butir.
Pengendalain
secara biologi dapat menggunakan musih alami, musuh alami dari Crocidolomia binotalis Zell. Secara
fisik kelompok telur dan larva yang baru saja menetas diambil dan dimusnahkan.
Gerombolan ulat tersebut dapat diambil dengan lidi yang diruncingi dan
mengambil telur beserta sedikit daun, kemudian dimasukkan dalam suatu wadah
untuk diberikan pada ayam atau dimusnahkan dengan cara dibakar. Pengambilan
telur dan kelompok ulat tersebut paling tidak dilakukan dua kali setiap
minggunya.
BAB
V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Dapat
dikatakan bahwa setiap hama yang ada di tanaman kubis mempunyai sifat-sifat
yang berbeda jika dilihat dari tingkat serangannya yang merusak daun kubis.
Seperti larva plutella xylostella biasanya
besembunyi dibagian bawah daun dan biasanya yang dimakan hanya daging daun
tetapi kulit ari daun sebelah atas tidak dimakan, hingga kelihatan seperti
bercak-bercak putih dan berlubang. Ketika serangan hebat maka yang tertinggal
hanya tulang daun saja. Selain menyerang daun hama ini juga menyerang titik
tumbuh yang dapat menyebabkan terhentinya pertumbuhan dari tanaman. Kemudian
hama kutu daun (Aphis) biasanya menyerang tunas-tunas muda pada tanaman kubis
sehingga tanaman kubis pun banyak dikerumuni aphids. Aphis mengeluarkan kotoran
embun madu sehingga mengundang cendawan jelaga, kutu daun juga mengeksekresikan
embun madu. Adanya embun madu yang dikeluarkan dapat dilihat dengan terdapatnya
semut atau embun jelaga yang berwarna hitam. Selanjutnya hama ulat crop kubis
dimana Larva instar satu bersifat gregarious,
memakan daun pada permukaan bawah dnegan menyisakan lapisan epidermis atas.
Larva menghindari cahaya. Kepala larva instar awalnya berwarna hitam kecoklatan
dengan tubuh berwarna hijau. Warna larva bervariasi, umumnya berwarna hijau
dengan batas garis dorsal dan lateral berwarna kekuningan. Panjang larva
sekitar 18 mm (Purnamasari, 2006).
5.2
Saran
Hama
yang ada pada tanaman kubis ini mempunyai sifat yang berdeda dan siklus hidup
yang berbeda, sehingga tingkat serangannya ada yang dikategorikan serangan yang
berat hingga ringan. Maka dari itu dalam melakukan pengendalian di sarankan
melakukan pengendalian hama terpadu jika tingkat serangannya ringan seperti menggunakan
musuh alami, dan pestisida nabati sehingga dikemudian hari tidak menyebabkan
siklus ekologi menjadi rusak. Penggunaan pestisida sintesis juga dianjurkan
tetapi diaplikasikan secara cukup dan seimbang sehingga tidak menyebabkan hama
menjadi resisten dan siklus ekologi menjadi rusak dan berbahaya bagi lingkungan
DAFTAR
PUSTAKA
Cahyono,
B. 1995. Cara Meningkatkan Budidaya Kubis. Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusantara.
Pracaya.
1997. Hama dan Penyakit Tanaman. Jakarta: Penebar Swadaya. 2001. Kol Alias Kubis.
Jakarta: Penebar Swadaya. Edisi Revisi. 70 hal.
Rukmana. 2001 Bertanam
kubis. Yogyakarta: Kanisius 68 hal.
Sastrosiswojo
S, Setiawati W. 1993. Biology and control of Crocidolomia binotalis in
Indonesia Bandung: Balithor Lembang. (9) Hlm 81-87.
Mulyono, A. G. S. 2012. Pengaruh Pemberian Perlakuan
Berbeda terhadapat Tanaman Kubis dalam lahan Rumah Kaca dengan teknik Invitro.
Program Studi Agronomi dan Hortikultura, IPB. Bogor.
Novary, T. S.
1997. Bertanam Kubis. Penebar Swadaya. Jakarta
Pracaya,
2007. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta.
Spittstoesser,
G.D. 1984. The Analitycal of Pest Control. University of California. San
Fransisco.
Sutarya,
A.J., Sartika, F.S., dan Junaidi, A.S. 1995. Perkembangan Pertumbuhan Tanaman
Hortikultura Kubis di Kebun Percobaan Institut Pertanian Bogor.
Wahyuni, S. 2006. Perkembangan Hama dan Penyakit Kubis
dan Tomat pada Tiga Sistem Budidaya Pertanian di Desa Sukagalih Kecamatan
Megamendung Kabupaten Bogor. Program Studi Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, IPB. Bogor.
LAMPIRAN
Hama Plutella
|
Ulat crop
|
Pupa
|
![]() |
![]() |
![]() |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar