Selasa, 22 Mei 2018

PENGAMATAN BERBAGAI JENIS HAMA DI DESA KATUNG, KEC. BANGLI, KAB. BANGLI, PROV. BALI


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kubis-kubisan (Brassica oleracea L) merupakan salah satu suku tumbuhan liar yang berbunga yang tumbuh di daerah yang zona iklimnya sedang hingga di daerah tropika dan banyak berasal dari daerah subtropis dan telah lama sekali dibudidayakan di Indonesia. Dalam keluarga ini terdapat sejumlah jenis sayuran yang banyak berguna bagi kehidupan manusia. Cruciferae adalah nama yang lebih dahulu digunakan yang artinya "pembawa silangan"  yang mencerminkan ciri khas suku ini karena memiliki empat kelopak bunga yang tersusun menyerupai tanda silang. Tanaman ini berasal dari daerah Eropa dan Asia kecil, terutama tumbuh di daerah Great Britain dan Mediterranean.
Semula tanaman kubis liar tumbuh menahun (perennual) dan dua musim (biennual) kemudian oleh orang Eropa dipanen biji-bijinya. Dari sejumlah 5.000 tanaman diperoleh 70.000 biji kubis dan selanjutnya ditanam kembali. Pada tahap ini ditemukan turunan tanaman kubis yang akar-akarnya membengkak dan daun-daunnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan.
Tanaman kubis (Brassicae oleraceae) termasuk family Cruciferae, KlasDicotyledoneae, Subdivisi Angiospermae dan Divisi Embriophyta (Pracaya, 2001). Kubis sebagai sayuran mempunyai peran penting untuk kesehatan. Kubis banyak mengandung vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Sebagai sayuran, kubis dapat membantu pencernaan, menetralkan zat-zat asam dan memperlancar buang air besar.
Tanaman kubis merupakan tanaman semusim yang di Indonesia banyak ditanam di daerah pegunungan, dengan ketinggian ±800 m di atas permukaan laut (dpl) dan mempunyai penyebaran hujan yang cukup setiap tahunnya. Sebagian kubis tumbuh baik pada ketinggian 100-200 m dpl, tetapi jumlah varietasnya tidak banyak dan tidak dapat menghasilkan biji. Pada daerah yang ketinggiannya di bawah 100 m, tanaman kubis tumbuh kurang baik.
Pada umumnya kubis ditanam dengan pola tanam secara monokultur atau tumpangsari. Waktu tanam kubis yang paling baik adalah pada awal musim hujan atau awal musim kemarau. Meskipun demikian, kubis dapat ditanam sepanjang musim atau tahun asalkan kebutuhan airnya terpenuhi. Cara budidaya tanaman kubis adalah pengolahan tanah atau pembersihan gulma, penyulaman, pemupukan, pemanenan, dan pergiliran tanaman (Rukmana, 1994).
Realita yang ada, tidak semua petani di sentra pertanaman kubis menanam kubis. Keengganan petani menanam kubis dipicu oleh alasan klasik, takut terserang hama dan penyakit. Tanaman kubis yang akan tumbuh baik pada kelembaban yang cukup tinggi (60-69%) dan suhu cukup rendah memang dapat memunculkan berbagai penyakit, terutama bakteri dan cendawan. Kedua patogen inilah yang merupakan patogen utama pada kubis (Pracaya, 2001).
Tanaman kubis-kubisan (Brassicaceae) merupakan komoditas yang banyak diusahakan oleh petani di Indonesia. Luas panen kubis pada tahun 2008-2009 mencapai lebih dari 66.000 hektar/tahun dengan hasil produksi lebih dari 1,33 juta ton/tahun. Di Indonesia tanaman kubis-kubisan biasanya diusahakan di daerah dataran tinggi seperti di Sumatra Barat memiliki luas lahan pertanaman kubis sekitar 1009Ha pada tahun 2002 dengan hasil produksi mencapai 64.760ton/Ha.
Faktor yang merupakan penghambat produksi tanaman kubis-kubisan adalah hama yang dapat menurunkan hasil produksi sampai dengan 100%. Sala satu hama yang sering menyerang tanaman kubis-kubisan ini adalah ulat tritip/ulat daun (Plutella xylostella). Ulat ini  memakan bagian bawah daun sehingga tinggal epidermis bagian atas saja. Ulatnya kecil kira-kira 5 mm berwarna hijau. Jika diganggu akan menjatuhkan diri dengan menggunakan benang. Ulat ini cepat sekali kebal terhadap satu jenis insektisida. Pengendalian dapat dilakukan dengn cara “pithesan” yaitu mengambili ulat yang terdapat pada tanaman kubis, kemudian dipencet sampai mati.
Penyebaran hama ini meliputi Asia, Afrika, Australia, dan kepulauan Pasifik.Daerah penyebarannya di Indonesia meliputi Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTB, Sulawesi Utara. Larva yang menyerang tanaman yang sedang membentuk krop. Hal ini akan menurunkan kualitas dan kuantitas produksi pada famili Brassicaceae.


1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah ada jeis-jenis hama dan musuh alami pada tanaman kubis ?
2. Apa saja langkah-langkah yang dilakukan untuk melakukan pengendalian hama pada tanaman kubis ?

1.3 Tujuan Praktikum
1. Untuk mengetahui jenis hama dan musuh alamai pada tanaman kubis
2. Untuk mengetahui langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk  pengendalian hama tanaman kubis.























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ulat tritip (Plutella xylostella)
Plutella xylostella disebut juga dengan ulat tritip atau ngengat punggung berlian (Pracaya,2001). Serangga ini termasuk kedalam phylum Arthopoda, kelas insekta, ordo Lepidoptera, famili plutellidae, genus plutulla, spesies plutella xylostella dan nama sinonimnya P. maculipenisdan P.cruceferarum. Hama ini bersifat kosmopolit yang banyak terdapat di daerah tropis dan subtropics seperti Indonesia, Eropa, India, Selandia Baru, Australia, Amerika Selatan dan Amerika Utara (Kalshovn, 1981).
Serangga ini pada umumnya dikenal sebagai “diamond back moth” karena terdapat tiga titik seperti intan pada sayap depannya (Kalshoven, 1981). Imago P. xylostella berupa ngengat yang ramping dan berwarna coklat kelabu. Panjangnya 1,5–1,7 mm dengan rentang sayap 14,5–17,5 mm. Bagian tepi sayap depan berwarna terang.
Larva Plutella xylostella biasanya besembunyi dibagian bawah daun dan biasanya yang dimakan hanya daging daun tetapi kulit ari daun sebelah atas tidak dimakan, hingga kelihatan seperti bercak-bercak putih dan berlubang. Ketika serangan hebat maka yang tertinggal hanya tulang daun saja. Selain menyerang daun hama ini juga menyerang titik tumbuh yang dapat menyebabkan terhentinya pertumbuhan dari tanaman. Cirri khas dari larva ini adalah bergerak cepat apabila merasa ada bahaya disekelilingnya, misalnya tersentuh, kemudian larva tersebut menjatuhkan tubuhnya dari daun dengan menggantung menggunakan benang sutra (Pracaya, 2008).
Tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh larva ini tergantung pada instar larva yang menyerang tanaman, semakin besar larva yakni pada instar 3 dan instar 4 maka tingkat kerusakan semakin tinggi. Bila populasi tinggi semakin berat kerusakan yang ditimbulkan dengan memakan seluruh daun pada tanaman dengan menyisakan tulang daun saja pada tanaman yang belum membentuk krop. Pada populasi yang tinggi larva juga dapat menyerang krop bila ulat krop sebagai pesaingnya tidak ada pada tanaman .
Telur Plutella xylostella ini berbentuk oval yang berlangsung secara tunggal dan berukuran 0,6 x 0,3 mm, berwarna kuning. Biasanya telur diletakkan secara tunggal ataupun berkelompok kecil yang terdiri dari 3-4 butir (Rukmana, 1994). Pada saat telur akan menetas maka telur akan berubah menjadi warna coklat keabu-abuan. Produksi telur tiap imago dapat mencapai 300 butir. Stadium telur biasanya berlangsung selama 12 ahri (Othman, 1982).
Larva Plutella xylostella ini terdiri dari 4 instar, yang berlangsung biasanya selama 12 hari. Larva instar 1 memiliki panjang 1 mm dan lebar 0,5 mm, memiliki warna kekuning-kuningan dan kepalanya berwarna gelap berlangsung selama 4 hari. Larva instar 2 memiliki panjang 2 mm dan lebar 0,5 mm, berwarna hijau kekuningan dan berlangsung selama 2 hari. Larva instar 3 panjangnya 4-6 mm dan lebarnya 0,75 mm, berlangsung selama 3 hari. Larva instar 4 panjangnya 8-10 mm dan lebarnya 1-1,5 mm memiliki warna hijau dan berlangsung selama 3 hari (Rukmana, 1994). Perkembangan stadia larva sangat dipengaruhi oleh ketinggian dan temperatur. Semakin rendah temperatur maka semakin bertambah lama stadia tiap instar larva. Temperatur optimum untuk perkembangan stadian larva adalah 20-25oC dengan kelembaban 50-60oC (Haryono, 1996).
Imago larva ini berupa ngengat kecil berwarna coklat kelabu. Imago pada betina agak pucat sedangkan yang jantan berukuran lebih kecil dan berwarna lebih cerah dari imago betina (Sudarmo,1998). Ngengat betina dapat dibedakan dengan ngengat jantan dengan melihat cirri–cirinya. Ngengat betina  warnanya tiga berlian pada sayap depan dari ngengat yang  baru muncul  dari pupa lebih gelap dari sayap depan jantan. Segmen anal  (segmen terakhir dari abdomen) tidak terbelah dua dan abdomen membesar di tengah . Dalam kedaan terentang, sayap ngengat betina lebih besar dibandingkan sayap ngengat jantan. Ciri–ciri ngengat jantan yaitu warna tiga berlian dari ngengat yang baru muncul dari pupa lebih putih dari ngengat betina. Segmen anal terbelah dua kalau dilihat dari pndangan ventral. Dalam keadaan terentang sayap lebih pendek, lebih sempit dan pararel atau memanjang (Haryono, 1996).
Panjang tubuh imago termasuk kepalanya adalah 1,5-1,7 mm dalam rentang sayap 14,5 – 17,5 mm, bagian tepi sayap memiliki warna terang. Lama hidup rata-rata berlangsung selama 20 hari. Imago dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya yang sesuai dengan habitatnya (Rukmana, 1994). Daur hidup Plutella xylostellaberlangsung sekitar 2 smapai 4 minggu mulai dari telur hingga menjadi imago. Umur Pxylostella di daerah tropis lebih pendek dibandingkan daerah dingin. Pada daerah dengan ketinggian 250 m dari permukaan laut, perkembangan hama ini membutuhkan waktu 12 samapai 15 hari. Sedangkan pada ketinggian 1.100 m dari permukaan laut perkembangannya 20 samapai 25 hari (Kalshoven, 1981). Serangan hama ini mengakibatkan kerugian yang cukup besar, yakni mencapai 58% - 100% (Rukmana,1994).
Penanganan Plutella xylostella hendaknya dilakukan secepat mungkin segera setelah diketahui keberadaannya. Sebab, jika penanganan tidak segera dilakukan, dalam waktu 4 – 5 hari seluruh tanaman dapat habis dimakannya.

2.2 Hama Keong Mas (Pamacea canalicula L.)
Keong mas bersifat herbivora yang pemakan segala pertanaman dan sangat rakus, yang disukai tanaman yang masih muda dan lunak seperti padi, sayuran, enceng gondok, rumput-rumputan. Apabila habitatnya dalam keadaan kekurangan air maka keong mas akan membenamkan diri pada lumpur yang dalam, hal ini dapat bertahan selama 6 bulan. Apabila habitatnya sudah ada airnya maka keong mas akan muncul kembali ke permukaaan tanah pada saat pengolahan lahan. Keong mas mempunyai jenis kelamin yaitu jantan dan betina, tidak seperti jenis siput lainnya. Keong mas siap melakukan kopulasi pada saat kondisi air terpenuhi pada areal persawahan. Keong mas dewasa meletakkan telur pada tempat-tempat yang tidak tergenang air (tempat yang kering) dan melakukan bertelur pada malam hari pada rumpun tanaman, tonggak, saluran pengairan bagian atas dan rumput-rumputan.
Telur keong mas diletakkan secara berkelompok berwarna merah jambu seperti buah murbei sehingga disebut juga keong murbei. Keong mas selama hidupnya mampu menghasilkan telur sebanyak 15-20 kelompok, yang tiap kelompok berjumlah kurang lebih 500 butir, dengan persentase penetasan lebih dari 85%. Waktu yang dibutuhkan pada fase telur yaitu 1 - 2 minggu, pada pertumbuhan awal membutuhkan waktu 2 - 4 minggu lalu menjadi siap kawin pada umur 2 bulan. Keong mas dewasa berwarna kuning keemasan. Dalam satu kali siklus hidupnya memerlukan waktu antara 2-2,5 bulan. Keong mas dapat mencapai umur kurang lebih 3 tahun. Keong mas menyerang tanaman padi yang masih muda yang baru ditanam sampai 15 hari setelah tanam (HST) dengan cara memotong pangkal batang padi, sehingga tanaman menjadi rusak. Hama Keong mas perlu diwaspadai dan diantisipasi karena berkembangbiak dengan cepat dan menyerang tanaman yang masih muda dan menjadi hama utama pada tanaman padi terutama pada daerah yang mempunyai pola tanam padi terus menerus.
Keong mas hidup biasanya di kolam, rawa, sawah irigasi, saluran air dan areal yang selalu tergenang. Keong mas mengubur diri dalam tanah yang lembab selama musim kemarau. Keong mas bisa berdiapause selama 6 bulan, kemudian aktif kembali jika tanah diairi. Keong mas bisa bertahan hidup pada lingkungan yang ganas seperti air yang terpolusi atau kurang kandungan oksigen.

2.3 Kutu Daun (Aphis brassicae L.)
Panjang telur Kutu daun berukuran 0,7 mm dan tebal 0,15 mm, berwarna hijau muda atau hijau kuning diliputi semacam tepung berlilin, namun setelah 17 beberapa hari berubah menjadi hitam mengkilat. Kutu daun yang baru menetas tidak mempunyai sayap dan berwarna hijau. Panjang aphis berkisar 1,8 — 2,3 mm. Kutu daun hidup berkelompok di bawah daun dan daur hidup aphis 40 sampai  50 hari (Pracaya, 1999). Tingkat kesuburan dari satu betina kutu daun bisa menghasilkan 40 nimpha. Periode nimpha berlangsung selama 7 — 1 2 hari. Kutu daun menyerang tanaman kubis dengan menusukkan alat mulut yang runcing dan menghisap cairan selnya, sehingga menyebabkan daun menguning dan krop berbintik-bintik tampak kotor. Kutu daun lebih memilih untuk makan pada sisi bawah daun atau pada sisi bawah daun dekat titik tumbuh.

2.4 Ulat Krop Kubis (Crocidolomia pavonana Fabricius)
Crocidolomia pavonana merupakan hama yang menyerang pertanaman kubis dari munculnya krop hingga panen. Imago C. pavonana meletakkan telur secara berkelompok dan saling tumpang tindih pada permukaan bawah daun dimana menyerupai deretan genting rumah. Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor ngengat betina bervariasi antara 55 hingga 285 butir. Sari (2002) melaporkan bahwa persentase penetasan telur adalah 62,2-100% dan persentase individu yang dapat bertahan hidup sampai menjadi imago adalah 44,0-88,6% dengan rata-rata 67,8%. Lama stadium telur 46 hari, telur yang baru diletakkan berwarna hijau kemudian akan berubah selama 2 hari menjadi kuning kehijauan setelah itu berwarna coklat kemerahan dan akan berwarna hitam kelabu sebelum menetas (Korinus, 1995). Larva C. pavonana berwarna hijau muda kecoklatan. Larva tersebut memiliki lima instar. Sepanjang tubuh larva terdapat garis-garis putih pada bagian sisi dan bagian atas larva ini. Larva muda (instar ke-1 sampai instar ke-2) pada umumnya hidup bergerombol pada permukaan bawah daun kubis kemudian pada larva instar ke-3 akan menyebar menuju ke titik tumbuh. Sedangkan larva instar ke- 4 dan instar ke-5 akan bersifat malas dan selalu menghindari cahaya matahari (Sastrosiswojo dkk., 2005). 10 Larva instar I memiliki panjang yaitu mencapai 1,08-4,5 mm, instar II dengan panjang mencapai 3,0-7,0 mm, instar III yaitu 7-12 mm, kemudian instar IV 12,0-16,0 mm sedangkan larva instar V berukuran 13,0-21,0 mm (Suharti, 2000). Masing-masing larva instar I sampai instar V berbeda yaitu pada larva instar I dan instar II berwarna hijau muda kemudian pada instar III sampai instar V berwarna hijau muda namun pada tubuhnya akan terlihat garis hijau membujur pada ventral dan akan semakin terlihat jelas terdapat bintik-bintik kecokelatan pada bagian ventral. Stadium larva pada masing-masing instar tersebut dengan rata-rata periode berturut-turut yaitu 2,6 hari; 2,4 hari; 2 hari; 2,3 hari, dan 4,7 hari.
Menurut Sastrosiswojo dkk.(2005) bahwa periode larva pada instar I sampai instar V adalah 11-17 hari dengan rata-rata 14 hari pada suhu 26-33,2 °C. Larva akan bergerak lamban dan tidak aktif makan pada saat larva tersebut mendekati masa prapupa. Serangga dewasa C. pavonana aktif pada malam hari (nokturnal). Ngengat akan bersembunyi pada siang hari di celah-celah antara daun kubis karena ngengat tidak tertarik pada cahaya (Kalshoven, 1981). Imago betina berwarna coklat dengan sayap depan berwarna sedikit gelap, sedangkan imago jantan berwarna coklat lebih gelap dengan sayap depan bercorak lebih jelas (Sari, 2002). Perbedaan yang lainnya yaitu ngengat betina memiliki abdomen yang lebih besar namun abdomen ngengat jantan lebih pendek dimana ujung abdomen lebih tumpul dan lebih banyak ditumbuhi rambut-rambut halus (Suharti, 2000). Ukuran panjang tubuh ngengat jantan berkisar 10,4 mm dan ngengat betina 9,6 mm (Sastrosiswojo dkk., 2005). Lama hidup imago ngengat C. pavonana yaitu 9,4 hari (Sari, 2002). Siklus hidup C. pavonana berkisar antara 22 sampai 30 hari (Kalshoven, 1981).
 
2.5 Laba-laba (Salcitus sp)
Laba-laba terjadi dalam berbagai macam ukuran dari 6 milimeter sampai 10 – 12 inci. Semua laba-laba memiliki delapan kaki, meskipun spesies semut-meniru beberapa menggunakan kaki depan mereka untuk meniru antena, yang kurang laba-laba. Laba-laba adalah invertebrata (yang berarti mereka tidak memiliki tulang belakang). Mereka adalah hewan predator yang tidak memiliki sayap dan tidak ada bagian mengunyah mulut. Sebaliknya, seperti arakhnida lain, mereka memiliki belalai kecil yang mereka gunakan untuk menyedot bagian cair dari mangsanya. Namun, laba-laba bisa makan sutra mereka sendiri. Laba-laba tidak serangga (serangga memiliki tiga bagian tubuh dan enam kaki).
Laba-laba memiliki dua bagian tubuh, bagian depan keras, kepala dan dada, yang disebut cephalothorax atau prosoma dan bagian belakang yang lembut, perut, disebut opisthosoma tersebut. Perut dan cephalothorax terhubung dengan pinggang tipis yang disebut pedikel atau somite pregenital, suatu sifat yang memungkinkan laba-laba untuk memindahkan perut ke segala arah. Pinggang ini sebenarnya segmen terakhir (somite) sefalotoraks dan hilang di sebagian besar anggota lain dari Arachnida (dalam kalajengking itu hanya terdeteksi dalam embrio).Laba-laba memiliki dua palps (digunakan untuk perawatan dan pemberian makan) yang melekat pada sefalotoraks.
Famili Staphylinidae sebagian besarnya memiliki peranan sebagai pemangsa (predator) pada telur, larva, pupa, beberapa kutu daun dan tungau. Trochosa sp, Lycosa sp, Pardosa sp merupakan famili Lycosidae yaitu Laba-laba serigala dan peloncat, Laba-laba ini memakan ngengat, ulat dan serangga lain. Setelah menangkap serangga, laba-laba menyuntikkan racun yang melumpuhkan korban, kemudian mengisap cairan tubuh korban. Sceliphron sp dari famili Sphecidae bukan merupakan serangga sosial, tetapi merupakan pemangsa ulat Lepidoptera dan laba-laba (Purnomo, 2010). Formica sp ini banyak terdiri dari predator, semut merupakan musuh alami karena menyerang ulat dan beberapa macam hama lain, contohnya Helopeltis yaitu hama pada apel. 






























BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Sistem peramalan hama dan penyakit ini dilakukan pada hari Jumat, 11 Mei 2018, pada pukul 10.00 s/d selesai. Dilakukan di Ds. Katung, Kec. Kintamani, Kab.Bangli, Prov. Bali.

3.2 Bahan dan Alat
Pada praktikum bahan yang digunakan adalah berupa sampel tanaman yang terdapat pada lahan kubis-kubisan. Dan alat yang digunakan pada saat praktikum adalah alat-alat tulis dan plastik kantong sebagai wadah dari hama yang didapatkan pada tanaman yang diamati di lapangan.

3.3 Cara Kerja
Pertama-tama lakukan pengambilan sampel secara diagonal sebanyak 5 sampel, kemudian hitung dan catat pada tiap sampel jenis hama yang didapatkan dan berapa jumlah hama yang didapatkan.

3.4 Metoda
Metoda yang dilakukan dalam pengambilan sampel adalah metode diagonal dengan mengambil lima sampel tanaman kubis-kubisan secara diagonal. Yaitu dengan cara mengambil 4 sampel pada tiap sudut lahan dan 1 sampel di tengah lahan. Jadi semua sampel berjumlah 5 sampel.








BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel. Hama dan Musuh Alami pada Tanaman Kubis
Sample
Nama Hama
Nama Musuh Alami
Jumlah Hama
Jumlah Musuh Alami
1
Pupa
Laba-laba
2
-
Ulat

1

Keong

1

Plutella

-

Aphis

-

2
Pupa
Laba-laba
2
1
Ulat

1

Keong

1

Plutella

-

Aphis

2

3
Pupa
Laba-laba
-
-
Ulat

-

Keong

4

Plutella

3

Aphis

-

4
Pupa
Laba-laba
-
-
Ulat

-

Keong

-

Plutella

1

Aphis

-

5
Pupa
Laba-Laba
4
-
Ulat

-

Keong

-

Plutella

-

Aphis

20










Histogram Sample Hama dan Musuh Alami


4.2 Pembahasan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dengan tehnik diagonal sampling didapatkan lima sample. Pada sample satu didaptkan banyaknya pupa yaitu berjumlah 2, hama ulat berjumlah 1, keong berjumlah 1, kemudian pada sampel dua didapatkan banyaknya pupa yaitu berjumlah 1, hama ulat berjumlah 1, keong berjumlah 1, aphis berjumlah 2, selanjutnya pada sample tiga didapatkan banyaknya hama keong berjumlah 4, plutella berjumlah 3, dan sampel empat didapatkan banyaknya hama plutella yaitu berjumlah 1, serta pada sampel lima didapatkan hama aphis berjumlah 20.
Dapat dikatan bahwa larva plutella xylostella biasanya besembunyi dibagian bawah daun dan biasanya yang dimakan hanya daging daun tetapi kulit ari daun sebelah atas tidak dimakan, hingga kelihatan seperti bercak-bercak putih dan berlubang. Ketika serangan hebat maka yang tertinggal hanya tulang daun saja. Selain menyerang daun hama ini juga menyerang titik tumbuh yang dapat menyebabkan terhentinya pertumbuhan dari tanaman. Cirri khas dari larva ini adalah bergerak cepat apabila merasa ada bahaya disekelilingnya, misalnya tersentuh, kemudian larva tersebut menjatuhkan tubuhnya dari daun dengan menggantung menggunakan benang sutra (Pracaya, 2008).
Tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh larva ini tergantung pada instar larva yang menyerang tanaman, semakin besar larva yakni pada instar 3 dan instar 4 maka tingkat kerusakan semakin tinggi. Bila populasi tinggi semakin berat kerusakan yang ditimbulkan dengan memakan seluruh daun pada tanaman dengan menyisakan tulang daun saja pada tanaman yang belum membentuk krop. Pada populasi yang tinggi larva juga dapat menyerang krop bila ulat krop sebagai pesaingnya tidak ada pada tanaman. Telur Plutella xylostella ini berbentuk oval yang berlangsung secara tunggal dan berukuran 0,6 x 0,3 mm, berwarna kuning. Biasanya telur diletakkan secara tunggal ataupun berkelompok kecil yang terdiri dari 3-4 butir (Rukmana, 1994).
Lebih baik untuk menanam kubis dan brasika lain pada musim hujan, karena populasi hama tersebut dapat dihambat oleh curah hujan. Irigasi. Apabila tersedia dapat digunakan irigasi sprinkle untuk mengurangi populasi ulat daun kubis, apabila pengairan demikian dilaksanakan pada petang hari, dapat membatasi aktivitas ngengat. Sebaiknya tidak melakukan penanaman berkali-kali pada areal sama, karena tanaman yang lebih tua dapat menjadi inokulum bagi tanaman baru. Apabila terpaksa menanam beberapa kali pada areal sama, tanaman muda ditanam pada arah angin yang berlawanan agar ngengat susah terbang menuju ke tanaman muda. Tempat pembibitan harus jauh dari areal tanaman yang sudah tumbuh besar. Sebaiknya pesemaian/bibit harus bebas dari hama ini sebelum transplanting ke lapangan. Hama tersebut memiliki musuh alami berupa predator (Paederus sp., Harpalus sp.), parasitoid (Diadegma semiclausum, Cotesia plutellae), dan patogen (Bacillus thuringiensis, Beauveria bassiana) yang bila diaplikasikan dapat menekan populasi dan serangannya.
Kemudian hama keong mas bersifat herbivora yang pemakan segala pertanaman dan sangat rakus, yang disukai tanaman yang masih muda dan lunak seperti padi, sayuran, enceng gondok, rumput-rumputan. Apabila habitatnya dalam keadaan kekurangan air maka keong mas akan membenamkan diri pada lumpur yang dalam, hal ini dapat bertahan selama 6 bulan. Telur keong mas diletakkan secara berkelompok berwarna merah jambu seperti buah murbei sehingga disebut juga keong murbei. Keong mas selama hidupnya mampu menghasilkan telur sebanyak 15-20 kelompok, yang tiap kelompok berjumlah kurang lebih 500 butir, dengan persentase penetasan lebih dari 85%. Waktu yang dibutuhkan pada fase telur yaitu 1 - 2 minggu, pada pertumbuhan awal membutuhkan waktu 2 - 4 minggu lalu menjadi siap kawin pada umur 2 bulan. Keong mas dewasa berwarna kuning keemasan. Dalam satu kali siklus hidupnya memerlukan waktu antara 2-2,5 bulan.
Pengendalian hama keong mas secara mekanis dapat dilakukan dengan cara pengambilan dan pengumpulan telur dan keong mas dilakukan pada pagi atau sore hari pada tempat-tempat yang tergenang. Memasang plastik pada sekeliling persemaian dengan harapan keong mas tidak dapat masuk ke dalam persemaian karena keong mas lebih menyukai tanaman yang muda. Disamping itu keong mas tidak bisa merangkak ke persemaian disebabkan sifat plastik yang halus sehingga kesulitan untuk masuk kepersemaian.Pemasangan plastic harus sampai dasar tanah dan potongan kayu atau bilah ditancapkan di bagian dalam plastik sehingga keong mas tidak bias masuk kepersemaian.
Secara umum kutu daun (A. gossypii) berukuran antara 1-6 mm, tubuh lunak, berbentuk seperti buah pear, pergerakan rendah dan biasanya hidup secara berkoloni (bererombol). Perkembangan optimal terjadi pada saat tanaman bertunas. Satu generasi berlangsung selama 6-8 hari pada suhu 25ºC dan 3 minggu pada suhu 15ºC. Secara visual, bentuk dan ukuran spesies-spesies kutu daun ini serupa. Warna kutu daun (A. gossypii) hijau tua sampai hitam atau kuning coklat. Umumnya aphids tidak bersayap, tetapi kadang yang dewasa mempunyai sayap transparan (tembus cahaya). Kutudaun (A. gossypii) biasa menularkan penyakit pada tanaman. Di dataran rendah tropis, perkembangan kutu daun sangat subur, terutama pada waktu permulaan musim kemarau. Tunas-tunas muda pun banyak dikerumuni aphis. Aphis mengeluarkan kotoran embun madu sehingga mengundang cendawan jelaga, kutudaun juga mengeksekresikan embun madu. Adanya embun madu yang dikeluarkan dapat dilihat dengan terdapatnya semut atau embun jelaga yang berwarna hitam.
Di alam kutu ini dikendalikan oleh musuh-musuh alami dari famili Syrpidae, Coccinellidae, Chrysopidae. Secara kultur teknis, penggunaan mulsa jerami di bedengan pembibitan jeruk dapat menghambat perkembangan populasi kutu. Untuk pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida berbahan aktif Dimethoate, Alfametrin, Abamektin dan Sipermetrin secara penyemprotan terbatas pada tunas-tunas yang terserang dan apabila serangan parah dapat dikendalikan dengan Imidaklopind yang diaplikasikan melalui saputan batang.
Ulat Krop Kubis (Crocidolomia pavonana) merupakan hama yang menyerang pertanaman kubis dari munculnya krop hingga panen. Imago C. pavonana meletakkan telur secara berkelompok dan saling tumpang tindih pada permukaan bawah daun dimana menyerupai deretan genting rumah. Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor ngengat betina bervariasi antara 55 hingga 285 butir.
Pengendalain secara biologi dapat menggunakan musih alami, musuh alami dari Crocidolomia binotalis Zell. Secara fisik kelompok telur dan larva yang baru saja menetas diambil dan dimusnahkan. Gerombolan ulat tersebut dapat diambil dengan lidi yang diruncingi dan mengambil telur beserta sedikit daun, kemudian dimasukkan dalam suatu wadah untuk diberikan pada ayam atau dimusnahkan dengan cara dibakar. Pengambilan telur dan kelompok ulat tersebut paling tidak dilakukan dua kali setiap minggunya.














BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dapat dikatakan bahwa setiap hama yang ada di tanaman kubis mempunyai sifat-sifat yang berbeda jika dilihat dari tingkat serangannya yang merusak daun kubis. Seperti larva plutella xylostella biasanya besembunyi dibagian bawah daun dan biasanya yang dimakan hanya daging daun tetapi kulit ari daun sebelah atas tidak dimakan, hingga kelihatan seperti bercak-bercak putih dan berlubang. Ketika serangan hebat maka yang tertinggal hanya tulang daun saja. Selain menyerang daun hama ini juga menyerang titik tumbuh yang dapat menyebabkan terhentinya pertumbuhan dari tanaman. Kemudian hama kutu daun (Aphis) biasanya menyerang tunas-tunas muda pada tanaman kubis sehingga tanaman kubis pun banyak dikerumuni aphids. Aphis mengeluarkan kotoran embun madu sehingga mengundang cendawan jelaga, kutu daun juga mengeksekresikan embun madu. Adanya embun madu yang dikeluarkan dapat dilihat dengan terdapatnya semut atau embun jelaga yang berwarna hitam. Selanjutnya hama ulat crop kubis dimana Larva instar satu bersifat gregarious, memakan daun pada permukaan bawah dnegan menyisakan lapisan epidermis atas. Larva menghindari cahaya. Kepala larva instar awalnya berwarna hitam kecoklatan dengan tubuh berwarna hijau. Warna larva bervariasi, umumnya berwarna hijau dengan batas garis dorsal dan lateral berwarna kekuningan. Panjang larva sekitar 18 mm (Purnamasari, 2006).

5.2 Saran
Hama yang ada pada tanaman kubis ini mempunyai sifat yang berdeda dan siklus hidup yang berbeda, sehingga tingkat serangannya ada yang dikategorikan serangan yang berat hingga ringan. Maka dari itu dalam melakukan pengendalian di sarankan melakukan pengendalian hama terpadu jika tingkat serangannya ringan seperti menggunakan musuh alami, dan pestisida nabati sehingga dikemudian hari tidak menyebabkan siklus ekologi menjadi rusak. Penggunaan pestisida sintesis juga dianjurkan tetapi diaplikasikan secara cukup dan seimbang sehingga tidak menyebabkan hama menjadi resisten dan siklus ekologi menjadi rusak dan berbahaya bagi lingkungan
DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, B. 1995. Cara Meningkatkan Budidaya Kubis. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.

Pracaya. 1997. Hama dan Penyakit Tanaman. Jakarta: Penebar Swadaya. 2001. Kol Alias Kubis. Jakarta: Penebar Swadaya. Edisi Revisi. 70 hal.

Rukmana. 2001 Bertanam kubis. Yogyakarta: Kanisius 68 hal.

Sastrosiswojo S, Setiawati W. 1993. Biology and control of Crocidolomia binotalis in Indonesia Bandung: Balithor Lembang. (9) Hlm 81-87.


Mulyono, A. G. S. 2012. Pengaruh Pemberian Perlakuan Berbeda terhadapat Tanaman Kubis dalam lahan Rumah Kaca dengan teknik Invitro. Program Studi Agronomi dan Hortikultura, IPB. Bogor.

Novary, T. S. 1997. Bertanam Kubis. Penebar Swadaya. Jakarta

Pracaya, 2007. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta.

Spittstoesser, G.D. 1984. The Analitycal of Pest Control. University of California. San Fransisco.

Sutarya, A.J., Sartika, F.S., dan Junaidi, A.S. 1995. Perkembangan Pertumbuhan Tanaman Hortikultura Kubis di Kebun Percobaan Institut Pertanian Bogor.

Wahyuni, S. 2006. Perkembangan Hama dan Penyakit Kubis dan Tomat pada Tiga Sistem Budidaya Pertanian di Desa Sukagalih Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor. Program Studi Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.













LAMPIRAN

 Hama Plutella
Ulat crop
Pupa



Tidak ada komentar:

Posting Komentar