BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah merupakan bagian dari tubuh alam yang menutupi bumi dengan lapisan
tipis, disintesis dalam bentuk profil dari pelapukan batu dan mineral, dan
mendekomposisi bahan organik yang kemudian menyediakan air dan unsur hara
yang berguna untuk pertumbuhan tanaman. Yang membuat tanah itu subur
diantaranya pelapukan lanjut, bahan mineralogi, kapasitas pertukaran kation
yang tinggi, kelembaban air dan pH netral.
Tanah bersifat sangat penting bagi kehidupan, sehingga perlindungan
kualitas dan kesehatan tanah sebagaimana perlindungan terhadap kualitas udara
dan air harus sangat dijaga. Namun banyak faktor yang dapat menurunkan kualitas
dan kesehatan tanah tersebut, misalnya kadar hara yang terkandung dalam tanah,
vegetasi, iklim, sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Fitri, 2011).
Kesehatan tanah itu sendiri dapat didefinisikan secara umum sebagai
kemampuan berkelanjutan dari suatu tanah untuk berfungsi sebagai suatu sistem
kehidupan yang penting didalam batas – batas ekosistem dan tata guna lahannya,
untuk menyokong produktivitas hayati, meningkatkan kualitas udara dan
lingkungan perairan, serta memelihara kesehatan tanaman, hewan dan manusia.
Kualitas tanah itu sendiri dapat didefinisikan secara umum sebagai kemampuan tanah
untuk menghasilkan produk tanaman yang bergizi dan aman secara berkelanjutan,
serta meningkatkan kesehatan manusia dan ternak, tanpa menimbulkan dampak
negatif terhadap sumberdaya dan lingkungan
Terkait pada kedua definisi tersebut
dapat kita ketahui bahwa kualitas dan kesehatan tanah adalah faktor penting
yang harus dijaga agar fungsi tanah sebagai mediator tumbuh organisme, biota
tanah dan vegetasi dapat terlaksana dengan baik yang kemudian dapat
diaplikasikan untuk menunjang kehidupan, karena semua faktor yang terkait
dengan keadaan tanah dan daya dukung tanah akan berpengaruh secara langsung dan
tidak langsung terhadap perkembangan populasi mikroorganisme tanaman.
1.2 Rumusan Masalah
Apa saja jenis dan klasifikasi biota tanah ?
Bagaimana habitat biota tanah ?
Bagaimana interaksi antara mikrobia dengan
mikrobia ?
Bagaimana interaksi antara mikrobia dengan
tanaman ?
Bagaimana peran makrofauna dalam kesuburan tanah
?
Bagaimana peran mikrobia
dalam kesuburan tanah ?
1.3 Tujuan
Pengaruh organisme baik makroorganisme dana
mikroorganisme sangat penting perannnya dalam pertumbuhan tanaman dan kesuburan
tanah. Maka kelestarian makroorganisme dan mikroorganisme secara berkelanjutan
harus tetap dipertahankan agar seiring dengan kemajuan zaman makroorganisme dan
mikroorganisme tidak akan punah, dimana makroorganisme dan mikroorganisme
mberperan oenting dalam proses penyediaan undur hara baik unsur hara yang ada
di tanah maupun unsur hara yang ada di tanaman.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Jenis Dan
Klasifikasi Biota Tanah
Di dalam tanah, berdasarkan fungsinya dalam budidaya pertanian, secara umum
terdapat dua golongan jasad hayati tanah, yaitu yang menguntungkan dan yang
merugikan. Jasad hayati yang menguntungkan ini, yaitu yang terlibat dalam proses
dekomposisi bahan organik, pengikat/penyediaan unsur hara dan atau pembentukan
serta perbaikan struktur tanah. Sedangkan jasad yang merugikan adalah yang
memanfaatkan tanaman hidup, baik sebagai sumber pangan atau sebagai inangnya,
yang disebut sebagai hama atau penyakit tanaman maupun sebagai kompetitor dalam
penyerapan hara dalam tanah. Secara umum biota (jasad hayati) tanah
dikelompokkan menjadi dua. Fauna, meliputi: (a) makro fauna, terdiri
dari herbivora (pemakan tanaman) dan karnivora (pemangsa hewan-hewan kecil).
Herbivora meliputi cacing(Annelida),bekicot(Mollusca),Arthopoda,yaitu Crustacea seperti
kepiting, Chilopoda seperti kelabang,Diplopoda seperti
kaki seribu, Arachnida seperti kutu dan kalajengking, dan
serangga (Insecta); seperti belalang, kumbang, rayap, jangkrik dan
semut; serta hewan-hewan kecil lain yang bersarang dalam tanah, seperti ular,
tikus, kadal dan lain-lain; kanivora meliputi serangga, rayap, dan laba-laba. (b) mikro
fauna berupa pemangsa parasit, meliputi nematoda, protozoa, dan rotifera. Mikroflora
meliputi: (a) Ganggang, terdiri dari ganggang hijau dan hijau-biru; (b) Cendawan, meliputi jamur, ragi, dan
kapang; (c) Bakteri, aerobik dan anaerobik. Bakteri aerobik meliputi Azotobakter,
Beijerinkia, Rhizobium dan Azospirillum. Bakteri anaerobik
meliputi Desulfovibrio. Jasad hayati tanah ini berdasarkan
ukurannya dipilih menjadi tiga yaitu : (a) Makrobia : jika berukuran di atas 10 mm; (b) Mesobia : berukuran 0,2-10 mm; (c) Mikrobia : berukuran < 0,2 mm (200 mm) (Hanafiah, 2005).
Berdasarkan cara memperoleh energi, mikrobia tanah dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu (1) kelompok yang memperoleh energi dari sinar matahari,
dikenal sebagai kelompok fototrof, dan (2) kelompok yang memperoleh energi dari
oksidasi senyawa anorganik, seperti senyawa N (amonia dan nitrit), sulfur, zat
besi atau senyawa karbon sederhana, dan metana. Kelompok kedua ini dikenal
sebagai kelompok kemotrof. Selain itu berdasarkan sumber karbon yang
digunakannya, mikrobia tanah dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu (1)
kelompok yang menggunakan CO2, HCO3, CO3 sebagai
sumber carbon yang dikelompokkan dalam ototrof (litotrof), dan (2) kelompok
yang menggunakan C organik sebagai sumber karbon dan dikelompokkan dalam heterotrof
(organotrof).
Mikroflora yang tergolong fototrof meliputi alga, sianobakter, bakteri
lembayung dan hijau. Mikroflora yang tergolong fotohetotrof adalah
bakteri lembayung non sulfur, dan heliobakteri (bakteri pembentuk
endospora, Bascillus dan Closdtridium). Mikroflora
yang tergolong kemotrof antara lain bakteri pengoksidasi NH4+ (Nitrobacter),
dan pengoksidasi nitrit. Kelompok mikroflora kemoototrof dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu (1) kelompok yang menggunakan CO2 antara lain
bakteri Nitrosomonas, bakteri pengoksidasi sulfur (Thiobacillus
thiooxidans), bakteri pengoksidasi Fe (Thiobacillus ferrooxidans)
dan (2) kelompok yang menggunakan HCO3, contoh Pseudomonas sp.
Mikroflora yang termasuk kelompok kemoheterotrof adalah bakteri perombak selulosa.
Berdasarkan keberadaannya dalam tanah, dibagi dalam dua kelompok besar yaitu
(1) mikrobia otokton (autochtonous), yakni mikrobia setempat pada
tanah-tanah tertentu dan atau bersifat endemik, contohnya bakteri Azospirillum
halopraeferen yang selalu ditemukan di tanah salin; (2) mikrobia
zymogen, yaitu mikrobia yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh adanya perlakuan
khusus seperti penambahan pupuk, bahan organik dan pengelolaan tanah. Selain
itu dikenal juga mikrobia trasien, yaitu mikrobia yang keberadaannya di dalam
tanah bersifat sebagai penetap sementara. Mikrobia trasien umumnya merupakan
mikrobia yang diintrodusir ke dalam tanah baik disengaja ataupun tidak
disengaja (Ma’shum, 2003). Berdasarkan spesifikasi fungsinya, jasad hayati
tanah digolongkan menjadi jasad spesifik fungsional jika fungsinya dalam tanah
bersifat spesifik, misalnya bakterinitrosomonas dan nitrobacter yang
berperan dalam nitrifikasi, bakteri rhizobium yang berperan
dalam fiksasi N bebas, endomikoriza yang berperan dalam penyediaan dan
penyerapan hara P oleh tanaman. Serta jasad nonspesifik fungsional jika
berperan tidak spesifik, misalnya mikrobia dekomposer bahan organik. Apabila dikaitkan dengan pertumbuhan tanaman, biota tanah dikelompokkan
menjadi tiga yaitu : (1) biota yang
menguntungkan; (2) biota yang merugikan; (3) biota tanpa pengaruh.
Jika kelompok (1) yang dominan maka
pertumbuhan tanaman menjadi baik, sedangkan jika kelompok (2) yang dominan maka
pertumbuhan tanaman akan jelek. Dengan tujuan agar biota tanah yang
menguntungkan ini dapat dimaksimalkan dan yang merugikan dapat diminimalkan,
yang tanpa pengaruh dapat dimanfaatkan, sehingga pertumbuhan dan produksi
tanaman dapat dioptimalkan, maka pengembangan biologis dan bioteknologi tanah
menjadi penting untuk dikembangkan sebagai dasar pertanian organik tersebut (Hanafiah,
2005).
2.2 Habitat Mikrobia Tanah
Tanah sebagai habitat mikrobia berfungsi sebagai medium alam untuk
pertumbuhan dan untuk melakukan segala aktivitas fisiologinya. Tanah
menyediakan nutrisi, air dan sumber karbon yang diperlukan untuk pertumbuhan
dan aktifitasnya. Di dalam hal ini, lingkungan tanah seperti faktor abiotik
(yang meliputi sifat fisik dan kimia tanah) dan biotik (adanya mikrobia lain
dan tanaman tingkat tinggi) ikut berperan dalam menentukan tingkat pertumbuhan
dan aktifitas mikrobia tersebut. Struktur tanah, aerasi tanah, ketersediaan air
dan suhu tanah merupakan sifat-sifat fisik yang berperan dalam menentukan
kelangsungan proses fisiologi mikrobia. Sementara diantara sifat kimia tanah
yang berpengaruh adalah pH tanah, potensial redoks serta ada tidaknya substrat
yang bersifat toksik.
Sebagai habitat mikrobia, tanah dihuni oleh lebih satu jenis mikrobia
dengan berbagai ragam spesiesnya. Mereka merupakan spesies yang saling
pengaruh-mempengaruhi, saling bergantung dan bahkan tidak jarang satu dengan
yang lain melakukan persaingan dalam rangka mempertahankan hidupnya.
Di dalam tanah, mikroba tidak saja
berinteraksi dengan sesama mikrobianya, tetapi juga dengan organisme tingkat
tinggi yaitu dengan tanaman yang tumbuh di sekitarnya. Dalam hal ini akar
tanaman akan membebaskan sejumlah senyawa organik yang bermanfaat sebagai
sumber karbon dan energi bagi kehidupan mikrobia, sekalipun adakalanya terdapat
pula senyawa yang bersifat toksik bagi satu jenis mikrobia tertentu. Adanya
senyawa toksik tersebut menyebabkan pertumbuhan ataupun aktivitas mikrobia
dalam memperbaiki tingkat ketersediaan unsur hara bagi tanaman sekaligus
penyerapannya oleh tanaman akan terhambat atau bahkan terhenti.
2.3 Interaksi Antara Mikrobia dengan Mikrobia
Populasi mikrobia yang mendiami tanah terdiri atas lebih dari satu tipe
mikrobia. Kita memandang mereka sebagai masyarakat pergaulan berbagai macam
mikrobia dalam tanah. Tentunya dalam pergaulan itu akan terjalin hubungan
kehidupan bersama antara yang satu dengan yang lain, yang dikenal dengan
asosiasi. Asosiasi yang dibangun diantara mereka memiliki bentuk beragam, mulai
dari bentuk interaksi netral sampai dengan interaksi yang saling mempengaruhi
diantara mereka, dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Bentuk
interaksi netral selalu terjadi secara teratur, dan bersifat sangat alami.
Kehadiran satu populasi dalam interaksi netral tidak mempunyai pengaruh
langsung terhadap kehidupan dan perkembangan populasi yang lain.
Interaksi yang saling memberikan pengaruh positif pada masing-masing populasi
dikenal sebagai bentuk simbiosis apakah dalam bentuk mutualistik ataupun
protokooperatif. Bentuk interaksi kebalikannya, dikenal dengan pola kehidupan
antagonistik yaitu yang satu merugikan yang lain, apakah dalam bentuk
parasitisme atau amensalisme.
Di dalam tanah, gradasi dari bentuk asosiasi yang satu ke bentuk yang lain
dapat terjadi karena perjalanan waktu ataupun karena perubahan lingkungan.
Contoh. Laju pertumbuhan perindividu pemangsa (predator) yang paling tinggi
terjadi pada saat puncak densitas mangsa (prey) dan pada saat itu laju
pertumbuhan populasi mangsa (prey) menjadi negatif. Namun demikian, pada saat
populasi prey turun di bawah ambang batas, populasi predator juga turun dan
pada saat itu kompleksitas habitat memberikan kesempatan mereka hidup secara
bersama. Pengaruh asosiatif dan atau antagonistik di antara berbagai mikrobia dalam
kehidupan dan perkembangannya di dalam tanah berlangsung sebagai akibat dari : (1) perubahan ketersediaan nutrisi; (2 perubahan faktor lingkungan; (3) ketergantungan hidup
mikrobia tertentu atas yang lain.
Kehidupan bersama antara bakteri perombak sellulosa dengan bakteri autotrof
dan atau heterotrof yang lain merupakan bentuk asosiasi komensalisme yang
berdasarkan pada ketersediaan nutrisi. Bakteri perombak sellulosa akan
menghasilkan produk senyawa anorganik, asam organik serta produk senyawa antara
yang esensial bagi kegiatan ragam mikrobia non perombak sellulosa.
Kehidupan bersama antara bakteri anaerobik dengan bakteri aerobik merupakan
contoh baik untuk melihat pola komensalisme yang mendasarkan pada perubahan
lingkungan. Bakteri aerobik akan mengkonsumsi oksigen bebas alam tanah,
sehingga tercipta kondisi yang baik bagi pertumbuhan mikrobia anerobik.
Kehidupan bersama antara bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter merupakan
contoh ketergantungan hidup mikrobia tertentu atas yang lain. Bakteri Nitrosomonasmengoksidasi
ammonia ke bentuk nitrit. Senyawa yang terakhir ini merupakan satu-satunya
senyawa N yang diperlukan bagi kegiatan bakteri Nitrobacter untuk
membentuk nitrat. Bakteri ini tidak mampu menggunakan sumber energi yang lain.
Persaingan dalam memperoleh nutrisi, sebagaimana yang terjadi antara
bakteri dan fungi merupakan contoh umum dari pengaruh antagonistik dalam pola
kompetisi. Hal demikian terjadi pula dalam golongan mikrobia yang sama, misal
antara inokulum yang diintroduksi ke dalam tanah (Azospirillum) dengan
strain-strain Azospirillum yang terdapat di dalam tanah.
2.4 Interaksi Antara Mikrobia dengan Tanaman
Kehidupan bersama antara mikrobia dan tanaman berlangsung di rhizosfer
tanaman, karena di daerah inilah tersedia sejumlah senyawa yang diperlukan oleh
mikrobia untuk kehidupan dan aktivitasnya. Senyawa tersebut berupa eksudat akar
yang bermanfaat sebagai sumber C, N dan energi bagi mikrobia, mulai dari bentuk
senyawa organik sederhana sampai dengan senyawa organik kompleks. Perbaikan
kehidupan dan perkembangan mikrobia sebagai akibat adanya eksudat akar dikenal
dengan rhizosfer effect. Umumnya macam mikrobia yang mendiami rhizosfer
tidak berbeda dengan mikrobia yang tinggal di tanah (bulk soil), hanya
saja populasi di rhizosfer jauh lebih tinggi.
Akar tanaman sangat mempengaruhi kehidupan bakteri dari pada pengaruhnya
terhadap fungi, khususnya bakteri gram negatif. Bakteri-bakteri gram positif
menunjukkan penurunan jumlah di rhizosfer. Pengaruh perakaran terhadap fungi
bersifat selektif, artinya akar tanaman hanya menstimulasi kehidupan
fungi-fungi tersebut.
Di rhizosfer, tingkat kerapatan bakteri ini dapat berubah-ubah sejalan
dengan perubahan kondisi lingkungan di sekitarnya. Perubahan itu dapat terjadi
karena pemberian bahan pembenah tanah (misalkan bahan organik), aplikasi pupuk
daun, pemberian pestisida dan inokulasi bakteri pada benih ataupun langsung
dalam tanah
Mikrobia yang berkembang di rhizosfer
memiliki sifat hidup yang beragam yakni bersifat non simbiotik dan simbiotik.
Pola hidup bagi mikrobia yang non simbiotik dapat bersifat bebas (yang dikenal
dengan free living microorganiam), dan atau berasosiasi dengan
tanaman. Contoh, beberapa bakteri yang tergolong hidup bebas antara lainAzotobacter,
Beijirinckia, Mycobacterium, Arthrobacter, Bacillus (empat bakteri
tersebut bersifat aerobik); Pseudomonas, Klebsiella (dua
bakteri tersebut termasuk anaerob fakultatif); dan Clostridium,
Rhodospirillum. Untuk kelompok mikroba ini, akan memanfaatkan berbagai
macam senyawa organik (mulai dari senyawa organik sederhana hingga yang
komplek) sebagai sumber karbon dan energi. Senyawa organik dimaksud antara lain
mono, di dan poli sakarida; asam-asam organik dari asam lemak, asam organik
aromatik, ethyl alkohol, gliserol, mannitol serta asam-asam organik yang mudah
menguap (Rao, 1982 dalam Ma’shum 2003). Berbeda halnya dengan mikrobia yang hidup berasosiasi dengan tanaman. Asosiasi
mikrobia pada tanaman berlangsung di endorhizosfer dan atau di ektorhizosfer
(Lynch, 1983). Perkembangan dan aktifitas hidupnya sangat bergantung pada
kesesuaian jenis tanaman. Hal ini dikarenakan ada spesifikasi senyawa organik
yang diperlukan oleh mikrobia sebagai sumber C, N dan energi.
Sementara senyawa dimaksud hanya terdapat dalam eksudat akar tanaman tertentu.
Suatu contoh, Azospirillum brasilensis akan terpacu
perkembangan dan aktivitasnya apabila berasosiasi dengan tanaman C4, karena
dalam eksudat tanaman C4 terkandung asam malat yang berguna sebagai sumber
energi utama (Rao, 1992 dalam Ma’shum, 2003).
2.5 Makrofauna Dalam Kesuburan Tanah
Organisme tanah (mikrofauna, makrofauna dan mikroflora) telah terbukti
memiliki peranan penting dalam kesuburan tanah. Aktivitasnya sebagai pengendali
kesuburan tanah ditunjukkan dengan memperbaiki beberapa sifat fisik tanah yang
meliputi (1) struktur tanah, (2) tekstur dan kosestensi tanah, (3) retensi dan
pergerakan air, serta (4) pertukaran gas. Secara kimiawi terjadi pula perubahan
sifat tanah yang meliputi (1) kandungan hara tersedia, (2) meningkatnya
kapasitas tukar kation, (3) pH dan kandungan C organik. Perubahan sifat tanah
tersebut merupakan akibat aktivitas makrofauna dalam mempengaruhi proses (1)
huminifikasi dan mineralisasi bahan organik tanah, (2) pencampuran dan
pengadukan tanah, (3) pembentukan pori makro dan total pori.
Makrofauna sebagai pencampur dan pengaduk tanah, akan memacu
perubahan struktur tanah yang semula bersifat kompak dan masif menjadi tanah
yang bertekstur remah. Pengadukan tanah bagian bawahan dengan bagian atasan (bioturbasi)
menyebabkan adanya translokasi fraksi tanah berukuran halus dari bagian bawah
ke permukaan tanah. Di samping itu, bekas tempat yang dilewatinya akan
membentuk liang-liang (lubang saluran), yang bermanfaat sebagai lalu lintas
pertukaran udara dan pergerakan air infiltrasi. Kesanggupan mikrobia sebagai
pembenah sifat-sifat tanah, mengisyaratkan bahwa kehadiran makrofauna dalam
tanah sangat diperlukan untuk menjamin terciptanya lingkungan hidup yang nyaman
bagi tanaman dan mikrobia yang sedang tumbuh.
Keberadaan makrofauna di dalam tanah mempercepat dekomposisi masukan bahan
organik. Bahan organik segar merupakan pakan bagi makrofauna. Melalui pencernaannya
terjadi penguraian bahan organik, dan sebagian hasil pengurainya dibebaskan
kembali ke tanah dalam bentuk kotoran yang dihasilkannya. Oleh karena itu
kotoran makrofauna umumnya berkandungan C organik dan unsur tersedia
yang lebih tinggi dibandingkan tanah disekitarnya. Namun demikian komposisi
kimia kotoran makrofauna sangat beragam, bergantung pada jenis makrofaunanya,
jenis dan jumlah pakannya serta jenis tanahnya.
Dewasa ini kajian mengenai manfaat makrofauna sebagai pembenah kesuburan
tanah belum seintensif pada mikrobia. Hanya terdapat beberapa makrofauna yang
telah mendapatkan perhatian yang lebih serius. Pada wilayah beriklim basah
kajian mengenai makrofauna tersebut terpusat pada cacing tanah, karena cacaing
tanahlah yang merupakan makrofauna dominan pada lingkungan tersebut. Sekalipun
demikian densitas populasi, komposisi spesies dan sifat-sifat kotoran cacing
sangat dipengaruhi oleh tingkat kelembaban tanah, tipe tanah dan macam
vegetasi. Pada wilayah beriklim kering, makrofauna yang telah banyak mendapat
perhatian adalah rayap, yang merupakan makrofauna dominan pada tempat tersebut.
Aktivitas rayap dalam membenahi sifat-sifat tanah sangat bergantung pada iklim,
jenis tanah, jenis tanaman dan penggunaan lahan.
Beberapa sifat fisik tanah yang terbenahi oleh aktivitas cacing tanah
adalah (1) terbentuknya pori makro akibat dari terbentuknya liang cancing, (2)
terciptanya struktur tanah yang remah, (3) menurunnya bobot isi tanah dan
meningkatnya daya simpan air. Terbentuknya liang cacing tanah mengakibatkan
terciptanya pori makro yang berkesinambungan dan stabil. Liang ini
memfasilitasi pertukaran udara dan infiltrasi air. kecepatan dan akumulasi
infiltrasi pada tanah yang diberikan masukan cacing lebih besar dari pada tanpa
cacing tanah. Akumulasi air tersebut akan semakin besar apabila disertai
pemberian mulsa.
Melalui pergerakan cacing tanah akan terjadi perombakan struktur tanah yang
semula bersifat kompak dan masif menjadi tanah berstruktur reamh. Hal ini dapat
dilihat dengan memperbandingkan struktur pada tanah yang tidak didiami cacing
dengan tanah yang didiami cacing. Pada tanah yang tidak didiami cacing umumnya
memiliki sifat-sifat sebagai berikut : (1) tanah berstruktur masif, (2) retensi
air rendah, (3) bobot isi tanah tinggi (Lal, 1987 dalam Ma’shum, 2003).
Selain pergerakan cacing tanah, kotoran yang dihasilkannya juga berpengaruh
positif terhadap beberapa sifat fisik tanah, seperti meningkatnya daya simpan
air dan menurunnya bobot isi tanah. Meningkatnya daya simpan air disebabkan
oleh kandungan liat yang nisbi tinggi disertai dengan total pori yang nisbi
besar pada kotoran cacing jika dibandingkan dengan tanah
disekitarnya. Lal dan Oluwale, 1983 dalam Ma’shum (2003)
menunjukkan bahwa kotoran cacing mengandung air yang lebih tinggi dari pada
tanah disekitarnya pada tingkat tegangan air yang sama. Masukan kotoran ccing
mampu menurunkan bobot isi tanah sekitar 7 % dari tanah yang tampa masukan
kotoran cacing.
Cacing tanah juga berkerja sama dengan mikrobia dalam pembentukan agregat.
Hal ini terkait dengan adanya sisa-sisa organik yang tidak dapat dicerna oleh
cacing secara sempurna akan didegradasi lanjut oleh bagi mikrobia tanah. Hasil
dekomposisi oleh mikrobia dan atau senyawa organik hasil bentukan mikrobia akan
memantapkan pembentukan struktur remah yang dilakukan oleh cacing.
Masukan cacing ke dalam tanah mengakibatkan perubahan beberapa sifat kimia
tanah yang meliputi (1) meningkatnya kandungan bahan organik, (2) kandungan
unsur hara tersedia, dan (3) kapasitas tukar kation. Hal ini disebabkan kotoran
cacing tanah mengandung lebih banyak unsur hara dan C organik dari pada tanah
aslinya
Tabel 2. Komposisi kandungan hara dan C
organik dalam kotoran cacing tanah dan dalam tanah.
S Sifat-sifat
kimia
|
Kotoran cacing
|
Tanah
|
pH (1:1)
|
5,3
|
5,7
|
KTK (me per 100 g)
|
17,7
|
4,5
|
Ca2+ (me per 100 g)
|
12,2
|
2,7
|
Mg2+ (me per 100 g)
|
4,3
|
1,3
|
K+ (me per 100 g)
|
0,7
|
0,2
|
Na+ (me per 100 g)
|
0,16
|
0,07
|
Brqay P (ppm)
|
12,6
|
4,5
|
Total n (%)
|
0,38
|
0,15
|
C organik (%)
|
3,10
|
1,08
|
Sumber : Vleeschauwer dan lal, 1981
dalam Ma’shum (2003).
Terhadap sifat biologi tanah, kotoran cacing berpengaruh terhadap keragaman
populasi mikrobia. Umunya tanah yang dihuni cacing tanah, populasi bakteri
(selulotik, hemisellulotik, pelarut fosfat, amonifikasi dan nitrifikasi) lebih
besar jumlahnya dari pada fungi. Sebagai akibatnya aktivitas ensim urease,
fosfatase dan dihidrogenase meningkat. Bakteri-bakteri tersebut umumnya berdomosili
di sekitar liang-liang yang dibuat oleh cacing tersebut.
Selanjutnya, sebagaimana disebut di atas bahwa biomassa makrofauna di lahan
kering didominasi oleh rayap. Aktivitas rayap dalam mempengaruhi pembentukan
tanah terjadi melalui (1) perannya sebagai pencampur dan pengaduk tanah, (2)
menciptakan liang-liang yang dalam, dan (3) mendekomposisi sisa-sisa organik.
Diperkirakan tingkat perubahan tanah akibat aktivitas rayap berkisar dari 0,01
sampai 0,1 mm ha/tahun (lal, 1987 dalam Ma’shum, 2003). Rayap mampu mengangkut
fraksi tanah berukuran halus dari tanah bagian bawah ke permukaan tanah, fraksi
halus tersebut digunakan sebagai bahan penyusun gundukan tanah. Oleh karena itu
material gundukan tanah memiliki tekstur yang halus jika dibandingkan dengan tanah
di sekitarnya.
Gundukan tanah dibangun oleh rayap dengan cara merekatkan satu partikel
dengan partikel lain, dengan bahan sementara adalah air liur dan atau senyawa
ekskresi yang lain. Gundukan ini memiliki ruang pori mikro yang nisbi banyak
jumlahnya, sehingga tingkat infiltrasi air pada gundukan tanah lebih kecil
jika dibandingkan dengan pada tanah disekitarnya. Sebagai akibat dari hal
tersebut, air hujan pada tempat itu akan tersimpan lebih lama pada bagian
permukaan, sedangkan bagian tanah yang lebih bawah sering kali masih dalam
kondisi kering. Infiltrasi air yang lamban berarti juga akan mengurangi tingkat
pencucian unsur hara, dan karena itu gundukan tanah umumnya berkandungan unsur
hara yang lebih tinggi dari tanah yang terdapat di dekatnya.
Gundukan tanah yang dibangun oleh rayap umumnya memiliki kandungan liat
yang nisbi tinggi, sehingga dia memiliki daya simpan air yang lebih besar dari
pada tanah disekitarnya. Lal, 1987 dalam Ma’shum (2003) menunjukkan bahwa pada
tegangan air yang sama gundukan tanah berkandungan air lebih besar dari pada
tanah yang terdapat disekitarnya. Rayap juga membuat liang-liang tanah yang
secara vertikal cukup dalam dan secara horisontal cukup panjang, sehingga pada
lokasi tersebut akan terjadi sirkulasi udara yang nisbi baik. Disamping itu
liang-liang tersebut juga dapat meningkatkan kecepatan infiltrasi air.
Infiltrasi air pada gundukan tanah nisbi lebih lamban jika dibandingkan dengan
tanah di sekitarnya.
Mengenai pengaruh aktifitas rayap
terhadap sifat kimia tanah adalah sulit untuk digeneralisasikan, karena
pengaruhnya berubah-ubah bergantung pada sifat-sifat
tanahnya, spesies rayap, umur gundukan, macam vegetasi dan penggunaan lahan.
Namun demikian umumnya rayap mengakumulasi bahan organik dalam gundukan tanah,
sehingga pada tempat tersebut terkandung kation-kation basa serta hara tanaman
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanah di sekitarnya. Oleh karena itu
gundukan tanah yang dibangun oleh rayap ini banyak digunakan sebagai sumber
kapur dan rabuk bagi tanaman.
2.6 Mikrobia Dalam Kesuburan Tanah
Peranan mikrobia dalam kesuburan tanah ditunjukkan dengan aktivitasnya
dalam memperbaiki (1) struktur tanah dan (2) ketersediaan hara tanaman.
Berkaitan dengan pembentukan struktur remah, mikrobia berperan sebagai
pembangun agregat tanah yang mantap. Tentu saja dalam proses agragasi tanah
diperlukan adanya bahan-bahan perekat anorganik (seperti Fe, liat, oksidasi
besi, alumunium dan kapur) dan organik (senyawa-senyawa organik bentukan
mikrobia ataupun hasil dekomposisi bahan organik). Senyawa-senyawa tersebut
mengikat butiran tanah, baik dari bentuk koogulasi tanah ke dalam agregat
mikro, serta sementasi agregat mikro ke dalam agregat makro. Dalam kaitannya
dengan peningkatan ketersediaan hara, mikrobia berfungsi sebagai pemercepat
dekomposisi bahan organik dan sebagai pemacu tingkat kelarutan senyawa
anorganik yang tidak tersedia menjadi bentuk tersedia. Hal ini dapat
berlangsung karena adanya metabolik skunder yang dihasilkan oleh mikrobia
berupa ensim-ensim tanah dan beberapa senyawa organik yang berguna sebagai
pelarut.
Pembentukan agregat tanah oleh mikroba, dapat terjadi (1) melalui
pengikatan mekanik oleh sel bakteri, aktinomesetes dan hifa fungi, dan (2)
melalui pengikatan yang dipelantarai oleh senyawa-senyawa organik yang
dihasilkannya ataupun hasil dekomposisi bahan organik. Pengikatan secara
mekanik terutama dilakukan oleh fungi dan aktinomisetes, karena mikroba ini
memiliki filamen yang berfungsi sebagai pengikat partikel-partikel
tanah untuk membentuk struktur yang remah. Hal ini tidak berarti bahwa kedua
mikoflora tersebut tidak menghasilkan bahan perekt kimiawi. Dalam Mulder (1971)
disebutkan bahwa mekanisme pembentukan agregat oleh fungi dan antinomisetes
adalah 50 % berlangsung secara mekanik dan 50 % lagi berlangsung dengan
menggunakan bahan perekat dari senyawa oeganik yang dihasilkannya. Berbeda
halnya dengan fungi dan antinomisetes, bakteri lebih banyak melakukan
pengikatan partikel tanah dengan menggunakan senyawa organik yang dihasilkannya
dari pada melakukan pengikatan secara mekanik, dengan perbandingan 80 % dan 20
%.
Efektivitas mikroba dalam pembentukan agregat tanah sangat bergantung pada
(1) sifat bahan organik yang tersedia, (2) jenis mikrobia dan kondisi
lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitasnya. Umumnya bahan
organik yang mudah terdekomposisi kurang efektif untuk agregasi tanah. Oleh
karenanya jika memasukkan bahan organik ke dalam tanah dengan tujuan
sebagai pembenah agregat, maka diperlukan bahan organik yang bernisbah C/N
tinggi disertai nisbah lignin/selulose juga tinggi. Contah bahan organik
berikut ini memiliki urutan efektivitas dari yang tinggi ke rendah
masing-masing adalah jerami, pupuk kandang dan tanaman legum. Perlu diketahui
juga bahwa apabila bahan organik yang mudah terdekomposisi dimasukkan ke dalam
tanah, agregasi segera berlangsung setelah waktu penambahan, tetapi dengan
cepat, setelah mencapai maksimum, agregasi menurun.
Bahan organik yang lebih sukar terdekomposisi memerlukan waktu yang lama
untuk menunjukkan pengaruhnya, tetapi efektivitas dapat berlangsung lebih lama
(Baveret al., 1972 dalam Ma’shum, 2003). Persentase agregasi yang
tinggi terjadi ketika bahan organik mengandung kadar asam humat yang tinggi,
tetapi keberadaan polisakarida turut pula menentukan besarnya agregasi tanah.
Contoh, pembenaman daun kacang tanah sebagai bahan pembenah struktur tanah
regosol menunjukkan sesaat setelah pembenaman agregasi berlangsung lebih tinggi
jika dibandingkan dengan perlakuan azolla dan jerami. Hal ini disebabkan daun
kacang tanah mengandung polisakarida yang lebih banyak dibandingkan azolla dan
jerami. Sementara dalam waktu yang relatif lama, jerami memberikan persentase
agregasi yang lebih tinggi, karena asam humatnya relatif lebih tinggi dari pada
dua bahan yang lain. Keberadaan polisakarida lebih berfungsi sebagai bahan
pemantap agregat dari pada pembentuk agregat. Hal ini mudah difahami karena
polisakarida memiliki daya adhesi dan kohesi yang kuat.
Mulder et al., (1971) menjelaskan bahwa efek fisiko kimia
dari mikrobia terhadap pemantapan agregat dan kontribusinya dalam pembentukan
struktur tanah yang remah bergantung pada (1) macam produk hasil dekomposisi
sisa tanaman atau binatang, (2) produk hasil bentukan mikrobia selama proses
dekomposisi bahan organik, (3) senyawa humus yang terbentuk selama dekomposisi
bahan organik yang ditambahkan. Sesaat setelah penambahan sisa tanaman, senyawa
yang berperan dalam pembentukan struktur tanah adalah kelompok (1) dan (2),
setelah itu barulah senyawa yang banyak berpengaruh terhadap pembentukan
struktur adalah kelompok (3). Selanjutnya dijelaskan pula struktur tanah yang
remah tersusun dari suatu campuran 60-80 % pasir, 20-40 % liat, ditambah dengan
kation-kation basa dan senyawa gula sebagai sumber karbon dan energi bagi
mikrobia penghasil lendir. Mikrobia dimaksut yaitu dari kelompok bakteri antara
lainAzotobacter indicum, Beijerinckia dan kelompok
fungi seperti Rhizopus nigricans danAspergillus niger.
Berbagai mikrobia tanah dapat mengikat butiran tunggal tanah menjadi
agregat. Namun demikian tingkat agregasi tanah tidak saja ditentukan oleh jenis
mikrobia, tetapi juga oleh macam spesies dari masing-masing kelompok mikrobia.
Umumnya jamur lebih efektif jika dibandingkan dengan bakteri. Menurut
Harris et al., 1966 dalam Ma’shum (2003), urutan efektivitas
mikrobia dalam pembentukan agregat tanah adalah jamur, streptomisetes, dan
bakteri.
Jamur yang efektif untuk pembentukan agregat adalah spesies jamur yang
tumbuh dengan cepat dan mengahasilkan miselium yang banyak, antara lain dari
jenis Mucor, Rhizopus, Fusarium dan Aspergillus.
Selain itu aktivitasnya juga dipengaruhi oleh jenis bahan organik yang
tersedia. Aspergillus, Fusarium dan Mucor sp akan
efektif jika tersedia sukrose sebagai sumber karbonnya, sedangkan Alternaria akan
menjadi efektif jika tersedia jerami.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Organisme tanah (mikrofauna, makrofauna dan mikroflora) telah terbukti
memiliki peranan penting dalam kesuburan tanah. Aktivitasnya sebagai pengendali
kesuburan tanah ditunjukkan dengan memperbaiki beberapa sifat fisik tanah yang
meliputi (1) struktur tanah, (2) tekstur dan kosestensi tanah, (3) retensi dan
pergerakan air, serta (4) pertukaran gas. Secara kimiawi terjadi pula perubahan
sifat tanah yang meliputi (1) kandungan hara tersedia, (2) meningkatnya
kapasitas tukar kation, (3) pH dan kandungan C organik. Perubahan sifat tanah
tersebut merupakan akibat aktivitas makrofauna dalam mempengaruhi proses (1)
huminifikasi dan mineralisasi bahan organik tanah, (2) pencampuran dan
pengadukan tanah, (3) pembentukan pori makro dan total pori.
Makrofauna sebagai pencampur dan pengaduk tanah, akan memacu perubahan
struktur tanah yang semula bersifat kompak dan masif menjadi tanah yang
bertekstur remah. Pengadukan tanah bagian bawahan dengan bagian atasan (bioturbasi)
menyebabkan adanya translokasi fraksi tanah berukuran halus dari bagian bawah
ke permukaan tanah. Di samping itu, bekas tempat yang dilewatinya akan
membentuk liang-liang (lubang saluran), yang bermanfaat sebagai lalu lintas
pertukaran udara dan pergerakan air infiltrasi. Kesanggupan mikrobia sebagai
pembenah sifat-sifat tanah, mengisyaratkan bahwa kehadiran makrofauna dalam
tanah sangat diperlukan untuk menjamin terciptanya lingkungan hidup yang nyaman
bagi tanaman dan mikrobia yang sedang tumbuh.
Kehidupan bersama antara mikrobia dan
tanaman berlangsung di rhizosfer tanaman, karena di daerah inilah tersedia
sejumlah senyawa yang diperlukan oleh mikrobia untuk kehidupan dan
aktivitasnya. Senyawa tersebut berupa eksudat akar yang bermanfaat sebagai
sumber C, N dan energi bagi mikrobia, mulai dari bentuk senyawa organik
sederhana sampai dengan senyawa organik kompleks.
3.2 Saran
Usah-usaha yang dilakukan demi mendukung aktivitas mikroorganisme yang ada
didalam tanah baik makroorganisme dan mikroorganisme harus seimbang dan sejalan
dengan perilaku salah satnya yaitu pemberian dosis bahan kimia ketanah,
sehingga bahan kimia yang ada di tanah dapat diminimalisir keberadaannya dan
tidak mengganggu aktivtas dari mikroorganisme tanah syang mengakibatkan
mikroorganisme tanah tersebut berkurang karena dampak penggunaan dari pupuk
kimia yang terlalu berlebihan yang dapat mencemari tanah dan menggangu
aktivitas mikroorganisme.
DAFTAR PUSTAKA
Fitri. 2011. Peran Makrofauna dan Mikrofauna dalam Sifat Fisik dan Kimia Tanah.
................ 2017.http://fitri05.wordpress.com/2011/01/24/peran-makrofauna-dan mikrofauna-dalam-sifat-fisik-dan-kimia-tanah/ [Diakses Tgl 07 oktober 2017].
Hanafiah, K. A., Anas,
I., Napoleon, A dan Ghoffar, N. 2005. Biologi Tanah Ekologi dan Makrobiologi
Tanah. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Lynch, J. M. 1983.
Soil Biotecnology, Microbiologycol Factors in Crop Production. Blackwell
Scientific Publication. Oxford London.
Ma’shum, M.,
Soedarsono, J., Susilowati, L. E. 2003. Biologi Tanah. CPIU Pasca IAEUP, Bagpro
Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia, Ditjen Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional. Jakarta.
Mulder, E. G., Lie, T. A and Woldendorp,
J. W. 1971. Biology and Fertility. (in) Soil Biology (reviews of research).
UNESCO.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar