Selasa, 22 Mei 2018

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK CAIR BERKULAITAS SEMSETER 3 AGROEKOTEKNOLOGI


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam bidang pertanian, tanah mempunyai arti yang sangat penting dilihat dari kemampuannya untuk menyediakan unsur hara/makanan bagi tanaman dengan jumlah yang tepat sehingga dapat menghasilkan produk yang optimum.
Kesuburan tanah adalah mutu tanah untuk bercocok tanam, yang ditentukan oleh interaksi sejumlah sifat fisika, kimia, dan biologi bagian tubuh tanah yang menjadi habitat akar-akar aktif bagi tanaman. Tanah yang baik bagi pertanian adalah tanah yang subur, menyangkut sifat tanah untuk menyediakan unsur hara dalam jumlah yang seimbang dan tersedia, memiliki tata air dan udara yang baik sesuai dengan kepentingan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Tetapi, untuk memperoleh produktivitas yang tinggi pada pertanian tidak hanya dibutuhkan kesuburan tanah tetapi bagaimana seorang petani mampu mengolah lahannya dan mengatur ketersediaan unsur hara yang ada.
Salah satu cara untuk menjaga kesuburan tanah adalah dengan melakukan pemupukan. Pemupukan adalah pemberian bahan kepada tanah untuk memperbaiki atau meningkatkan kesuburan tanah, serta mengganti kehilangan unsur hara dari dalam tanah dengan tujuan mendapatkan produktivitas pertanian yang maksimal.
Di masa sekarang ini banyak petani yang menggunakan pupuk anorganik karena kepraktisannya. Mereka belum banyak menyadari bahwa pupuk anorganik justru bisa menurunkan kualitas tanah dan produktivitasnya di masa mendatang jika pemakaiannya berlebihan. Selain itu masalah lain dari pupuk anorganik adalah harganya yang relatif mahal,  serta ketersediaannya yang kadang menyulitkan petani hingga terjadi kelangkaan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengubahan pola penggunaan pupuk anorganik dengan pupuk organik, salah satunya yaitu dengan menggunakan kompos.
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik. Kompos sendiri dapat dibuat dari bahan-bahan organik seperti kotoran ternak baik kotoran sapi, kambing, ayam, kuda, kerbau dan sebagainya,  sisa-sisa pertanian seperti hasil pangksasn sisa tanaman (tanaman kacang-kacangan/legum), jerami padi, sampah kota, sampah rumah tangga, sampah pasar, hijau-hijauan, dan limbah industri.
Kompos banyak sekali macamnya. Kompos yang kali ini kita bahas adalah kompos kotoran hewan yang dicampur dengan dedaunan( jerami padi ). Kami membuat kompos ini karena bahan-bahan yang digunakan mudah didapat di lingkungan kami. Pembuatan kompos adalah menumpukkan bahan-bahan organis dan membiarkannya terurai menjadi bahan-bahan yang mempunyai nisbah C/N yang rendah (telah melapuk) (Hasibuan, 2006).
Bahan-bahan yang mempunyai C/N sama atau mendekati C/N tanah, dapat langsung digunakan sebagai pupuk, tetapi bila C/N nya tinggi harus didekomposisikan dulu sehingga melapuk dengan C/N rendah yakni 10-12 (Rinsemo, 1993).
Dalam pembuatan kompos ini dapat dikemukakan cara-cara Krantz, Indore, dan Macdonald. Cara Krantz yaitu dengan menggunakan bahan-bahan mentah (serasah, sampah organic, dll) ditumpuk sampai setinggi 50 cm atau lebih. Kemudian diberi pupuk kandang sebagai aktifator, setelah beberapa hari temperature mencapai 50oC-60oC, temperatur ini bisa mematikan kuman-kuman serta biji-biji tanaman pengganggu. Tumpukan diinjak-injak sehingga keadaan menjadi anaerob, selanjutnya ditambahkan bahan-bahan mentah sehingga tumpukan mencapai sekitar 80 cm, demikian seterusnya perlakuan penamabahan dilakukan sampai tumpukan menjadi tinggi sekitar 1,5 m. kemudian tumpukan harus ditutup dengan lapisan tanah bagian atasnya, perlakuan demikian untuk mencegah kehilangan N lebih lanjut dan juga melindungi kompos dari pengaruh teriknya sinar matahari. Setelah 3 bulan biasanya kompos telah matang dan dapat dipergunakan (Sutejo, 2002).
Kompos yang saya buat yaitu dari bahan-bahan campuran antara kotoran babi, jerami padi, dedak, stater mikroba dari MOL dan larutan terasi serta gula aren, ditambah kapur. Kompos yang berasal dari bahan organik tersebut dapat membantu memperbaiki sifat fisika, kimia, maupun biologi tanah sehingga kesuburan tanah tetap terjaga serta ketersediaan haranya pun terjamin. Apalagi kompos dapat dibuat sendiri dari bahan-bahan yang mudah ditemukan, sehingga tidak memerlukan biaya banyak dalam pembuatannya.
1.2 Rumusan Masalah
1.  Apa pengertian dari pupuk organik padat atau kompos ?
2. Apa peranan dari MOL sebagai stater mikroba dalam pembuatan pupuk organik padat atau kompos ?
3. Bagaimanakah proses pengomposan baik  secara anaerobik maupun aerobik ?



1.3 Tujuan
1. Menghasilkan pupuk yang berkualitas (mengandung unsur hara yang tersedia bagi tanaman ) sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah.
2. Memberdayakan kehidupan masyarakat khuusnya peternak babi,sapi, kambing dll, dengan memanfaatkan    produk sampingan (feses) bila dilakukan dalam skala besar.
3.  Menghidarkan pencemaran lingkungan dan limbah sampingan berupa feses di peternakan itu sendiri dan lingkungan sekitar.
4.  Memperbaiki kondisi fisik, kimia dan biologi tanah.
5. Memanfaatkan jerami padi yang kaya unsur K untuk dikembalikan lagi dalam bentuk pupuk organik padat atau komps sehingga unsurnya tidak hilang kalau di bakar.
1.4 Manfaat
1.  Menjadi bahan masukan berbagai pihak dalam menganalisis peranan mikroorganisme
   dalam proses pembuatan pupuk kompos.
2.  Menjadi sumber acuan bagi masyarakat atau siapapun yang hendak melakukan penulisaan laporan dan ada kaitannya dengan pengaruh peranan mikroorganisme dalam proses pembuatan pupuk kompos serta bagaimana proses pembuatan pupuk kompos.












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian pupuk organik
Pupuk organik merupakan pupuk yang terbuat dari bahan-bahan alami yang ada di sekitar kita. Bahan dasar pupuk organik, baik dalam bentuk kompos maupun pupuk kandang dapat berasal dari limbah pertanian, seperti jerami, dan sekam padi, kulit kacang tanah, ampas tebu, batang jagung, dan bahan hijauan lainnya. Sedangkan kotoran ternak yang banyak dimanfaatkan adalah kotoran sapi, kerbau, kambing, ayam, itik dan babi. Disamping itu, dengan berkembangnya pemukiman, perkotaan dan industri makan bahan dasar kompos makin beranekaragam seperti dari tinja, limbah cair, sampah kota dan pemukiman. Salah satu bentuk pupuk organik yang sekarang sedang banyak digunakan adalah pupuk bokashi. Pupuk bokashi dibuat dengan memfermentasikan bahan-bahan organik (dedak, ampas kelapa, tepung ikan, dsb) dengan MOL (mikroorganisme lokal).
Pupuk dapat diartikan sebagai bahan-bahan yang diberikan pada tanah agar dapat menambah unsur hara atau zat makanan yang diperlukan tanah baik secara langsung maupun tidak langsung. Pupuk organik adalah bahan organikyang umumnya berasal dari tumbuhan dan atau hewan, ditambahkan ke dalam tanah secara spesifik sebagai sumber hara, pada umumnya mengandung nitrogen yang berasal dari tumbuhan dan hewan. 
Suriawiria (2003) menyatakan bahwa pupuk organik mempunyai kandungan unsur hara, terutama N, P, dan K yang relatif sedikit dibandingkan dengan pupuk anorganik, tetapi mempunyai peranan lain yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan, dankesehatan tanaman. Pengomposan menurut Yang (1997), merupakan suatu proses biooksidasi yang menghasilkan produk organik yang stabil dan dapat dikontribusikan secara langsung ke tanah serta digunakan sebagai pupuk. Haradaet al. (1993) menyatakan produk dari pengomposan berupa kompos apabila diberikan ke tanah akan mempengaruhi sifat fisik, kimia maupun biologis tanah. Dekomposisi secara anaerobik merupakan modifikasi biologis pada struktur kimia dan biologi bahan organik tanpa kehadiran oksigen (hampa udara).Proses tersebut merupakan proses yang dingin dan tidak terjadi fluktuasi suhu, seperti yang terjadi pada proses pengomposan aerobik. Proses pengomposansecara anaerobik akan menghasilkan metana (alkohol), CO2, dan senyawa lainseperti asam organik yang memiliki berat molekul rendah (asam asetat, asampropionat, asam butirat, dan asam laktat).

2.2 Proses Pengomposan
Memahami dengan baik proses pengomposan sangat penting untuk dapat membuat kompos dengan kualitas baik. Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50o ­ 70o C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu.
Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30-40% dari volume/bobot awal bahan.
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen) atau anaerobik (tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses ini tidak diinginkan selama proses pengomposan karena akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses aerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S.
Proses anaerobik umumnya dapat menimbulkan bau yang tajam. Sisa hasil pengomposan anaerobik berupa lumpur yang mengandung air sebanyak 60% dengan warna cokelat gelap sampai hitam. Kehilangan unsur hara pada proses pengomposan secara anaerobik sedikit, sehingga umumnya mempunyai kandungan unsur hara yang lebih tinggi dari proses pengomposan secara aerobik (Samekto, 2006)
Proses pengomposan dapat dipercepat jika bahan mentah kompos dicincang menjadi bahan yang lebih kecil. Bahan yang kecil akan cepat didekomposisi karena peningkatan luas permukaan untuk aktivitas organisme perombak(Gaur, 1983). Menurut Murbandono (1993), sampai batas tertentu semakinkecil ukuran partikel bahan maka semakin cepat pula waktu pelapukannya.
Rasio Karbon-Nitrogen (C/N)Rasio C/N bahan organik merupakan faktor yang paling penting dalam pengomposan. Hal tersebut disebabkan mikroorganisme membutuhkan karbon untuk menyediakan energi (Gunawan dan Surdiyanto, 2001) dannitrogen yang berperan dalam memelihara dan membangun sel tubuhnya(Triadmojo, 2001). Kisaran rasio C/N yang ideal adalah 20-40, dan rasioyang terbaik adalah 30 (Center for policy and Implementation Study, 1992).Rasio C/N yang tinggi akan mengakibatkan proses berjalan lambat karenakandungan nitrogen yang rendah, sebaliknya jika rasio C/N terlalu rendahakan menyebabkan terbentuknya amoniak, sehingga nitrogen akan hilang keudara (Gunawan dan Surdiyanto, 2001).
Pengomposan akan berjalan optimal pada suhu yang sesuai dengan suhuoptimum pertumbuhan mikroorganisme perombak. Menurut Murbandono(1993), suhu optimum pengomposan berkisar antara 35-55 oC, akan tetapisetiap kelompok mikroorganisme mempunyai suhu optimum yang berbeda sehingga suhu optimum pengomposan merupakan integasi dari berbagai jenis mikroorganisme.
Identifikasi proses degradasi bahan organik pada proses pengomposan dapat dilakukan dengan mengamati terjadinya perubahan pH kompos. MenurutCenter for Policy and Implementation Study (1992), derajat keasaman (pH)yang dituju adalah 6-8,5 yaitu kisaran pH yang pada umumnya ideal bagitanaman. Hasil dekomposisi bahan organik ini menghasilkan kompos yangbersifat netral sebagai akibat dari sifatsifat basa bahan organik yangdifermentasikan. Pada pengomposan pupuk organik padat nilai pH pada hariketiga berkisar dari 7,66-8,84 dan hari ke-enam berkisar pada 8,66-9,08(Nengsih, 2002). Pengomposan akan berjalan lama jika mikroorganisme perombak pada permulaannya sedikit. Mikroorganisme sering ditambahkan pada bahan yang akan dikomposkan yang bertujuan untuk mempercepat proses pengomposan (Indriyani, 1999).
Populasi mikroorganisme selama berlangsungnya proses pengomposan akan berfluktuasi. Berdasarkan kondisi habitatnya (terutama suhu), mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan tersebut terdiri dari dua golongan yaitu mesofilik dantermofilik. Mikroorganisme mesofilik adalah mikroorganisme yang hidup pada suhu antara 45-65 oC. Pada waktu suhu tumpukan kompos kurang dari45 oC, maka proses pengomposan dibantu oleh mesofilik di atas suhu tersebut (45-65 oC) mikroorganisme yang berperan adalah termofilik (Gaur,1983 dan Center for Policy and Implementation Study, 1992).Menurut Center for Policy and Implementation Study (1992),mikroorganisme mesofilik pada hakekatnya berfungsi memperkecil ukuran partikel zat organik sehingga luas permukaan partikel bertambah. MenurutGaur (1983), bakteri termofilik yang tumbuh dalam waktu yang terbatas berfungsi untuk mengkonsumsi karbohidrat dan protein, sehingga bahan-bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat.
2.3 Apa Itu Jerami
Jerami adalah hasil samping  usaha pertanian berupa tangkai dan batang tanaman serealia yang telah kering, setelah biji-bijiannya dipisahkan. Massa jerami kurang lebih setara dengan massa biji-bijian yang dipanen. Jerami memiliki banyak fungsi, di antaranya sebagai bahan bakarpakan ternak, alas atau lantai kandang, pengemas bahan pertanian (misal telur), bahan bangunan (atap, dinding, lantai), mulsa, dan kerajinan tangan. Jerami umumnya dikumpulkan dalam bentuk gulungan, diikat, maupun ditekan.Mesin baler dapat membentuk jerami menjadi gulungan maupun kotak. (Sudjarad, 2008).
2.4 Peranan MOL
MOL dapat dikatakan salah satu jenis pupuk cair. Mol juga memiliki kandungan unsur hara dan unsur hara mikro. MOL sangat berperan dalam perangsang tanaman dan sebagai pengendalian hama dan penyakit tanaman (Anonim, 2012).
MOL (Mikro Organisme Lokal) merupakan pemanfaatan bakteri yang bermanfaat di sekitar yang berguna sebagai dekomposer. MOL dapat berasal dari hasil pembusukan yang telah difermentasikan. Semakin busuk dan halus bahan yang difermentasikan maka akan semakin cepat menjadi MOL (Anonim, 2012).
MOL yang berasal dari buah-buahan yang sedang dibuat, yang telah/hampir busuk merupakan pembuatan MOL yang relatif cepat dan efisien karena buah tersebut memiliki daging buah yang halus sehingga mudah untuk busuk (Anonim, 2012).
Dalam pembuatan MOL yang lebih cepat maka bakteri dalam larutan MOL membutuhkan glukosa, sumber bakteri, dan karbohidrat (Anonim, 2012).
Glukosa berperan dalam sumber energi dalam mikroba yang bersifat spontan, artinya lebih mudah untuk dimakan. Glukosa yang dibuat dalam praktikum ini adalah gula jawa yang telah diiris/dihaluskan serta air kelapa.
Sumber bakteri dalam MOL yang diperoleh berasal dari buah-buahan yang telah busuk. Bakteri yang tersedia dalam MOL biasanya lebih dari satu jenis bakteri. Jenis bakteri yang terdapat seperti Pseudomona sp, Bacillus s, bakteri pelarut pospat, dan Azospirillum sp, dll. Walaupun dalam praktikum tidak adanya identifikasi jenis bakteri. Akan tetapi dapat diperoleh dari literatur yang telah diidentifikasi.
Karbohidrat dalam MOL sangat dibutuhkan oleh bakteri pengurai yang digunakan sebagai sumber energi. Akan tetapi, karbohidrat tidak ada ditambahkan dalam praktikum ini. Karbohidrat dapat berupa beras, gandum, ubi, kentang dan singkong.
Aktivator merupakan bahan yang mampu meningkatkan dekomposisi bahan organik. Aktivator mempengaruhi proses pengomposan melalui dua cara, cara pertama yaitu dengan menginokulasi strain mikroorganisme yang efektifdalam menghancurkan bahan organik (pada activator organic), kedua yaitu meningkatkan kadar N yang merupakan makanan tambahan bagi mikroorganisme tersebut.

Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri.












BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
3.1.1 Pemilihan Bahan
1.      Waktu    : 5 oktober 2017.
2.      Tempat : Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas udayana. Jln. Pualu moyo, Kel.      Pedungan, Denpasar, Prov. Bali.
3.      Ket    : Bahan yang dipilih yaitu kotoran babi, jerami padi, stater mikroba dari MOL, larutan terasi dan larutan gula aren.
3.1.2 Pengumpulan Bahan
1.      Waktu    : 5 oktober 2017.
2.      Tempat : Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas udayana. Jln. Pualu moyo, Kel. Pedungan, Denpasar, Prov. Bali.
3.      Ket      : Kotoran babi, dedak, jerami padi dibawa olh masing-masing anggota kelompok dan dikumpulakn.
3.1.3 Pencacahan Bahan
1.      Waktu    : 5 oktober 2017
2.      Tempat : Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas udayana. Jln. Pualu moyo, Kel. Pedungan, Denpasar, Prov. Bali.
3.      Ket        : Jerami Padi Dicacah ± 2 cm.
3.1.4 Pembuatan kompos / pemrosesan
1.      Waktu    : 5 Oktober 2017.
2.      Tempat  : Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas udayana. Jln. Pualu moyo, Kel. Pedungan, Denpasar, Prov. Bali.
3.      Ket        : Semua bahan dicampur jadi satu, diatur kelembabannya.
3.1.5 Pengamatan Rutin
1.      Waktu   : Pengamatan pertama (5-12 Oktober 2017), pengamatan kedua (12-19 Oktober 2017), pengamatan ketiga ( 19-26 Oktober 2017 ), serta pengamtan keempat (26-3 Oktober 2017 ).
2.      Tempat : Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas udayana. Jln. Pualu moyo, Kel. Pedungan, Denpasar, Prov. Bali. Serta pengamatan di laboratorium. Gedung agrokomplek, Lab. Bioteknologi tanah, kampus unud sudirman denpasar bali.
3.      Ket       : Mengamati warna, bau, tingkat kekerasan, total populasi MO, total populasi bakteri, total populasi jamur, kadar hara ( N,P,K ), pH larutan, serta suhu (derajat celsisus).
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
1.      Ember          : untuk membuat adonan pupuk organik padat.
2.      Karung goni  : untuk menutupi adonan pupuk organik padat.
3.2.2 Bahan
1.      Jerami padi                             : Untuk pupuk organik padat dengan takaran 10 kg.
2.      Limbah ternak ( kotoran babi ) : Untuk pupuk organik padat dengan takaran 5 kg.
3.      Dedak                                    : Untuk pupuk organik padat dengan takaran 2,5 kg.
4.      Stater mikroba dari MOL      : Untuk pupuk organik padat dengan takaran (125 ml) setegah aqua gelas.
5.      Larutan terasi                     : Untuk pupuk organik padat dengan takaran (125 ml) setengah aqua gelas.
6.      Kapur                                     : Untuk pupuk organik padat dengan takaran (10 mg ).
3.3 Rancangan/Cara Keja
1.      Jerami di potong-potong kurang lebih 1-2 cm.
2.      Jerami yang dipotong ditaruh dalam ember besar kemudian dicampur dengan kotoran ternak ( babi) dan dedak.
3.      Siapkan ember, kemudian diisi air 1 liter. Masukan stater mikrobia (125 ml), larutan gula aren (125 ml), terasi (125 ml) di tambah kapur( 10 mg), lalu diaduk hingga tercampur.
4.      Jerami yang telah dipotong dan ditaruh dalam ember besar kemudian dicampur dengan dedak dan kotoran ternak (babi) lalu diisi larutan stater mikrobia dengan takaran (125 ml), larutan gula aren (125 ml), terasi (125 ml) di tambah kapur( 10 mg), lalu diaduk hingga tercampur.
5.      Tambahkan air secukupnya ( 1 liter) sehingga kadar airnya 30-45 %
6.      Lalu ketika semua bahan sudah tercampur didalam ember kemudia ember ditutup dengan karung goni.
7.      Diinkubasikan di tempat yang tidak kena sinar matahari.
8.      Diamati pada hari ke 7 ( 5-12 Oktober 2017), hari ke 14 (12-19 Oktober 2017 ), hari ke 21 ( 19-26 Oktober 2017), serta hari ke 28 ( 26 Okt-3 Nov 2017 ).
3.4 Pelaksanaan/Pengamatan
1.      Pengamatan dilakukan setelah inkubasi hari ke 7 ( 5-12 Oktober 2017), hari ke 14 (12-19 Oktober 2017 ), hari ke 21 ( 19-26 Oktober 2017), serta hari ke 28 ( 26 Okt-3 Nov 2017 ).
2.      Sebelum pengamatan karung goni harus dibuka dari ember agar mempermudah melakukan pengamatan, lalu pupuk organik padat yang ada didalam ember diaduk merata agar bahan-bahan yang ada dapat tercampur dengan merata serta diperas-peras agar semua larutannya keluar.
3.      Pada pengamatan  ke 14 (12-19 Oktober 2017 ) ditambah air sejumlah 600 ml.
4.      Pengamatan terakhir dilakukan pada hari ke 28 ( 26 Okt-3 Nov 2017 ).
5.      Pupuk organik padat yang didapat adalah pupuk organik padat yang berkualitas, dan siap untuk diaplikasikan di tanah.















BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tabel Gambar Pengamatan
Tgl/Hari
Pengamatan
Gambar 1
Gambar 2
5 Oktober 2017
Ke (0)


-Belum dilakukan pengamatan
5-12 Oktober 2017
Ke (1)




12-19 Oktober 2017
Ke (2)






19-26 Oktober 2017
Ke (3)












19 Okt-3 Nov 2017






Ke (4)






4.1.2 Tabel Pengamatan
Kegiatan yang sudah dilakukan dari awal sampai akhir :
Kegiatan yang sudah saya lakukan yaitu kegiatan semua tahap dari 1 sampai 5 berupa pengumpulan bahan, pencacahan bahan, pencampuran bahan/pemrosesan, pemilihan bahan, dan pengamatan rutin.
Bahan yang telah dikumpulkan kemudian diproses jerami dicacah ± 2 cm. Semua bahan kemudian dicampurkan menjadi satu, ditambah larutan MOL sebagai dekomposer, larutan gula sebagai makanan mikroorganisme untuk mempercepat pengomposan, dan pupuk kandang (kotoran babi) untuk menambah unsur Ca, K dan Mg serta untuk menetralkan pH. Kompos awal tersebut lalu diletakkan di tepat terlindung dari cahaya matahari langsung dan hujan agar tidak menganggu proses pengomposan. Selama proses pengomposan dilakukan pengamatan rutin dengan variabel yang diamati berupa warna, aroma/bau, tingkat kekerasan, total populasi mikroorganisme, populasi bakteri, populasi jamur, kadar hara (N,P,K), pH larutan, serta suhu ( derajat celcius).
Berikut tabel data pengamatan rutin yang saya lakukan :
Umur
(hari)
Warna
Aroma
/Bau
Tingkat kekerasan
Total populasi MO
Pop. Bakteri
Pop. Jamur
Kadar hara (N,P,K)
pH larutan
Suhu ( derajat celsius)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
7
Coklat


Berbau menyengat
Agak kasar dan menggumpal








14
Coklat
Berbau khas jerami
Agak lunak dari sebelumnya












21
Coklat agak
hitam
Berbau tetapi tidak terlalu menyengat
Lunak dari sebelumnya






28
Coklat kehitaman
Tidak berbau
Lunak dari sebelumnya
(Gembur)












Histogram warna
 Histogram aroma/bau

Histogram tingkat kekerasan
4.2 Pembahasan
Dengan mengetahui bahwa kualitas kompos (pupuk organik padat) sangat dipengaruhi oleh proses pengolahan, sedangkan proses pengolahan kompos sendiri sangat dipengaruhi oleh kelembaban dan perbandingan C dan N bahan baku, maka untuk menentukan standarisasi kompos adalah dengan membuat standarisasi proses pembuatan kompos serta standarisasi bahan baku kompos, sehingga diperoleh kompos yang memiliki standar tertentu. 
Faktor – faktor yang mempengaruhi proses pengomposan  yaitu : (1) Rasio C/NRasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat; (2) Ukuran partikel, aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut; (3) Aerasi pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh posiritas dan kandungan air bahan(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos; (4) Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan  mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplay Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu; (5) Kelembaban (Moisture content)Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen. Kelembaban 40 – 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap; (6) Temperatur/suhu panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30 – 60oC menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60oC akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma; (7) pH,Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5; (8) Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposakan, metode pengomposan yang dipergunakan dan dengan atau tanpa penambahan aktivator pengomposan. Secara alami pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun hingga kompos benar-benar matang.(Jakmi,2009)
Mengetahui kematangan kompos dapat diketahui dengan beberapa cara yaitu : (1)  Dicium :  kompos yang sudah matang berbau seperti tanah dan harum. Apabila kompos tercium bau yang tidak sedap, berarti terjadi fermentasi anaerobik dan menghasilkan senyawasenyawa berbau yang mungkin berbahaya bagi tanaman. Apabila kompos masih berbau seperti bahan mentahnya berarti kompos masih belum matang. Berdasarkan hasil pengamatan bau kompos pada umur 7 hari yaitu erabu menyengat, 14 hari berbau khas jerami, 21 hari berbau tetapi tidak terlalu menyengat serta 28 hari tidak berbau; (2) Kekerasan bahan : kompos yang telah matang akan terasa lunak ketika dihancurkan. Bentuk kompos mungkin masih menyerupai bahan asalnya, tetapi ketika diremas – remas akan mudah hancur, berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pupuk orgnaik padat (kompos) pada umur 7 hari tingkat kekerasannya agak kasar dan menggumpal, 14 hari agak lunak dari sebelumnya (pengamatan 7 hari), 21 hari lunak dari sebelumnya mendekati gembur (pengamatan 14 hari), dan 28 hari lunak dari sebelumnya (gembur ; (3) Warna kompos : kompos yang sudah matang adalah coklat kehitam – hitaman. Apabila kompos masih berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan mentahnya berarti kompos tersebut belum matang. Selama proses pengomposan pada permukaan kompos seringkali juga terlihat miselium jamur yang berwarna putih. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan warna kompos pada umur 7 hari berwarna coklat, 14 hari berwarna coklat, 21 hari berwarna coklat agak kehitaman, serta 28 hari berwarna coklat kehitaman; (4) Penyusutan : terjadi penyusutan volume/bobot kompos seiring dengan kematangan kompos. Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan tingkat kematangan kompos. Penyusutan berkisar antara 20 – 40 %. Apabila penyusutannya masih kecil/sedikit, kemungkinan proses pengomposan belum selesai dan kompos belum matang; (5) Suhu : suhu kompos yang sudah matang mendekati dengan suhu awal pengomposan. Suhu kompos yang masih tinggi, atau di atas 50oC, berarti proses pengomposan masih berlangsung aktif dan kompos belum cukup matang.
















BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kompos (pupuk organik padat) adalah bahan organik yang sudah terdekomposisi sebagai bahan yang sudah mengandung unsur hara yang siap dimanfaatkan oleh tanaman. Sumber bahan-bahan kompos bisa berasal dari sisa-sisa tanaman, hewan, limbah industri dan limbah sumber daya laut. Pemanfaatan bahan kimia sebagai bahan tambahan sangat dianjurkan selama untuk mempercepat proses pengomposan atau memperkaya kandungan unsur hara dalam kompos.
Dasar pembuatan kompos adalah menjadikan bahan-bahan yang akan dikomposisikan menjadi bahan yang terdekomposisi dan bisa menyerupai sifat humus dengan memanfaatkan faktor lingkungan yang kondusif. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kecepatan pengomposan. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah jenis bahan kompos itu sendiri, suhu, kelembaban dan perkembangan mikroorganisme yang berperan dalam pengomposan. Ada sekitar sejuta mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan yang hidup dalam berbagai fase kondisi lingkungan.
Prinsip pengomposan dibedakan menjadi 2 yaitu aerob dan anaerob. Perbedaan kedua prinsip ini terletak pada ada tidaknya pemanfaatan udara dalam proses dekomposisi yang berpengaruh pada perubahan zat-zat penyusun bahan kompos baik secara fisik, biologi maupun kimia. Pada proses aerob, karbon lebih banyak menguap menjadi karbondioksida. Terjadi reaksi eksotermik dan sangat membutuhkan suhu tinggi sampai 700C. Pada proses ini tidak ada bau busuk. Sementara pada proses anaerob, sumber oksigen berasal dari senyawa kimia yang tidak terlarut dalam oksigen. Bahan organik akan diubah menjadi asam lemak, aldehid dan akan dirubah lagi menjadi gas-gas seperti metan, amoniak dan hidrogen. Energi yang dilepaskan lebih kecil dari proses aerob.
Ketepatan mengkomposisikan bahan kompos dapat berpengaruh terhadap kecepatan pengomposan. Waktu pengomposan akan semakin pendek jika ditambahkan aktivator dalam proses pengomposan. Dengan bantuan mikroorganisme yang ada dalam aktivator dapat semakin mempercepat proses peruraian bahan-bahan penyusun kompos. Berikut adalah bahan-bahan tambahan yang dapat membantu pengomposan. Bahan-bahan ini bisa ditambahkan ketika bahan-bahan penyusun kompos memiliki kekurangan atau akan digunakan khusus untuk lahan yang memiliki kekurangan unsur hara.
5.2 Saran
Dalam membuat kompos sebaiknya bahan-bahan yan dicampurkan harus sesuai dengan kebutuhan untuk membuat pupuk organik padat (kompos). Dalam membuat pupuk organik padat (kompos) hal yang perlu diperhatikan adalah ketepatan waktu dalam mengamati sehingga kita tahu perbedaan dari proses dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme dengan cara mengamatinya secara langsung melalui penetapan warna, tingkat kekerasan, dan aroma/bau.


















DAFTAR PUSTAKA
Anonymous,2017. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/buku/pupuk3/pupukkompos.pdf. Diakses pad 14 Oktober 2017.
Bahar, F.A. dan Z. Abidin. 1992. Kepentingan pengelolaan gulma dalam pembangunan pertanian di Indonesia Bagian Timur. Makalah Utama Kongres dan Seminar Nasional HIGI XI. Ujung Pandang.
Djuarnani, Nan. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. PT. Agromedia Pustaka. Depok
Lingga, Pinus. 2006. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Depok
Noor, A., A. Jumberi, dan R.D. Ningsih. 1996. Peranan pupuk organik dalam meningkatkan hasil padi gogo di lahan kering. hlm. 575-586. Dalam M. Sabran, H. Sutikno, A Supriyo, S. Raihan, dan S. Abdussamad (Ed.). Prosiding Seminar Teknologi Sistem Usahatani Lahan Rawa dan Lahan Kering. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa, Banjarbaru.
Sutejo, Mul Mulyani. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. PT. Rineka Cipta. Jakarta
Guntoro Dwi,dkk. 2003. Pengaruh Pemberian Kompos Bagase Terhadap Serapan Hara Dan Pertumbuhan Tanaman Tebu(Saccharum officinarum L.). Dalam Buletin Agronomi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor.
IFOAM, 2005.  Prinsip-Prinsip Pertanian Organik (terjemahan). International Federations of Organic Agriculture Movements.  Bonn,Germany
Kurnia, K.P. Arbianto dan I.N.P. Aryantha (2003).  Studi Patogenitas Bakteri Entamopathogenik Lokal pada Larva Hyposidra Talaca Wlk dan Optimasi Medium Pertumbuhannya.  Seminar Bulanan Bioteknologi – PPAU Bioteknologi ITB, 15 September 2004, Bandung.
Pirngadi K., 2009.  Peran Bahan Organik dalam Peningkatan Produksi Padi Berkelanjutan Mendukung Ketahanan Pangan Nasional.  Pengembangan Inovasi Pertanian 2(1) : 48-64
Purwasasmita, M. 2009. Mikroorganisme Lokal Sebagai Pemicu Siklus Kehidupan. Dalam Bioreaktor Tanaman. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia, 19-20 Oktober 2009.
Sisworo, W.H., 2006.  Swasembada Pangan dan Pertanian Berkelanjutan.  Tantangan Abad Dua Satu : Pendekatan  Ilmu Tanah, tanaman dan Pemanfataan Iptek  Nuklir. Dalam A. Hanafiah WS, Mugiono,dan E.L. Sisworo. Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta. 207 hal.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar