BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam bidang pertanian, tanah mempunyai arti yang
sangat penting dilihat dari kemampuannya untuk menyediakan unsur hara/makanan
bagi tanaman dengan jumlah yang tepat sehingga dapat menghasilkan produk yang
optimum.
Kesuburan tanah adalah mutu tanah untuk bercocok
tanam, yang ditentukan oleh interaksi sejumlah sifat fisika, kimia, dan biologi
bagian tubuh tanah yang menjadi habitat akar-akar aktif bagi tanaman. Tanah
yang baik bagi pertanian adalah tanah yang subur, menyangkut sifat tanah untuk
menyediakan unsur hara dalam jumlah yang seimbang dan tersedia, memiliki tata
air dan udara yang baik sesuai dengan kepentingan pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Tetapi, untuk memperoleh produktivitas yang tinggi pada pertanian
tidak hanya dibutuhkan kesuburan tanah tetapi bagaimana seorang petani mampu
mengolah lahannya dan mengatur ketersediaan unsur hara yang ada.
Salah satu cara untuk menjaga kesuburan tanah adalah
dengan melakukan pemupukan. Pemupukan adalah pemberian bahan kepada tanah untuk
memperbaiki atau meningkatkan kesuburan tanah, serta mengganti kehilangan unsur
hara dari dalam tanah dengan tujuan mendapatkan produktivitas pertanian yang
maksimal.
Di masa sekarang ini banyak petani yang menggunakan
pupuk anorganik karena kepraktisannya. Mereka belum banyak menyadari bahwa
pupuk anorganik justru bisa menurunkan kualitas tanah dan produktivitasnya di
masa mendatang jika pemakaiannya berlebihan. Selain itu masalah lain dari pupuk
anorganik adalah harganya yang relatif mahal, serta ketersediaannya yang
kadang menyulitkan petani hingga terjadi kelangkaan. Oleh karena itu perlu
dilakukan pengubahan pola penggunaan pupuk anorganik dengan pupuk organik,
salah satunya yaitu dengan menggunakan kompos.
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap
dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh
populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab,
dan aerobik atau anaerobik. Kompos sendiri dapat dibuat dari bahan-bahan
organik seperti kotoran ternak baik kotoran sapi, kambing, ayam, kuda, kerbau
dan sebagainya, sisa-sisa pertanian seperti hasil pangksasn sisa tanaman
(tanaman kacang-kacangan/legum), jerami padi, sampah kota, sampah rumah tangga,
sampah pasar, hijau-hijauan, dan limbah industri.
Kompos
banyak sekali macamnya. Kompos yang kali ini kita bahas adalah kompos kotoran
hewan yang dicampur dengan dedaunan( jerami padi ). Kami membuat kompos ini
karena bahan-bahan yang digunakan mudah didapat di lingkungan kami. Pembuatan
kompos adalah menumpukkan bahan-bahan organis dan membiarkannya terurai menjadi
bahan-bahan yang mempunyai nisbah C/N yang rendah (telah melapuk) (Hasibuan,
2006).
Bahan-bahan
yang mempunyai C/N sama atau mendekati C/N tanah, dapat langsung digunakan
sebagai pupuk, tetapi bila C/N nya tinggi harus didekomposisikan dulu sehingga
melapuk dengan C/N rendah yakni 10-12 (Rinsemo, 1993).
Dalam
pembuatan kompos ini dapat dikemukakan cara-cara Krantz, Indore, dan Macdonald.
Cara Krantz yaitu dengan menggunakan
bahan-bahan mentah (serasah, sampah organic, dll) ditumpuk sampai setinggi 50
cm atau lebih. Kemudian diberi pupuk kandang sebagai aktifator, setelah
beberapa hari temperature mencapai 50oC-60oC, temperatur ini bisa mematikan
kuman-kuman serta biji-biji tanaman pengganggu. Tumpukan diinjak-injak sehingga
keadaan menjadi anaerob, selanjutnya ditambahkan bahan-bahan mentah sehingga
tumpukan mencapai sekitar 80 cm, demikian seterusnya perlakuan penamabahan
dilakukan sampai tumpukan menjadi tinggi sekitar 1,5 m. kemudian tumpukan harus
ditutup dengan lapisan tanah bagian atasnya, perlakuan demikian untuk mencegah
kehilangan N lebih lanjut dan juga melindungi kompos dari pengaruh teriknya
sinar matahari. Setelah 3 bulan biasanya kompos telah matang dan dapat
dipergunakan (Sutejo, 2002).
Kompos yang saya buat yaitu dari
bahan-bahan campuran antara kotoran babi, jerami padi, dedak, stater mikroba
dari MOL dan larutan terasi serta gula aren, ditambah kapur. Kompos yang
berasal dari bahan organik tersebut dapat membantu memperbaiki sifat fisika,
kimia, maupun biologi tanah sehingga kesuburan tanah tetap terjaga serta
ketersediaan haranya pun terjamin. Apalagi kompos dapat dibuat sendiri dari
bahan-bahan yang mudah ditemukan, sehingga tidak memerlukan biaya banyak dalam
pembuatannya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian dari pupuk organik padat atau kompos ?
2. Apa peranan dari MOL sebagai stater mikroba dalam
pembuatan pupuk organik padat atau kompos ?
3. Bagaimanakah proses pengomposan baik secara anaerobik maupun aerobik ?
1.3 Tujuan
1. Menghasilkan pupuk yang berkualitas (mengandung
unsur hara yang tersedia bagi tanaman ) sehingga dapat meningkatkan kesuburan
tanah.
2. Memberdayakan kehidupan masyarakat khuusnya
peternak babi,sapi, kambing dll, dengan memanfaatkan produk sampingan (feses) bila dilakukan
dalam skala besar.
3. Menghidarkan
pencemaran lingkungan dan limbah sampingan berupa feses di peternakan itu
sendiri dan lingkungan sekitar.
4. Memperbaiki kondisi fisik, kimia dan biologi
tanah.
5. Memanfaatkan
jerami padi yang kaya unsur K untuk dikembalikan lagi dalam bentuk pupuk
organik padat atau komps sehingga unsurnya tidak hilang kalau di bakar.
1.4 Manfaat
1.
Menjadi bahan masukan berbagai pihak
dalam menganalisis peranan mikroorganisme
dalam proses pembuatan pupuk kompos.
dalam proses pembuatan pupuk kompos.
2.
Menjadi sumber acuan bagi masyarakat
atau siapapun yang hendak melakukan penulisaan laporan dan ada kaitannya dengan
pengaruh peranan mikroorganisme dalam proses pembuatan pupuk kompos serta
bagaimana proses pembuatan pupuk kompos.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian pupuk organik
Pupuk
organik merupakan pupuk yang terbuat dari bahan-bahan alami yang ada di sekitar
kita. Bahan dasar pupuk organik, baik dalam bentuk kompos maupun pupuk kandang
dapat berasal dari limbah pertanian, seperti jerami, dan sekam padi, kulit
kacang tanah, ampas tebu, batang jagung, dan bahan hijauan lainnya. Sedangkan
kotoran ternak yang banyak dimanfaatkan adalah kotoran sapi, kerbau, kambing,
ayam, itik dan babi. Disamping itu, dengan berkembangnya pemukiman, perkotaan
dan industri makan bahan dasar kompos makin beranekaragam seperti dari tinja, limbah
cair, sampah kota dan pemukiman. Salah satu bentuk pupuk organik yang sekarang
sedang banyak digunakan adalah pupuk bokashi. Pupuk bokashi dibuat dengan
memfermentasikan bahan-bahan organik (dedak, ampas kelapa, tepung ikan, dsb)
dengan MOL (mikroorganisme lokal).
Pupuk
dapat diartikan sebagai bahan-bahan yang diberikan pada tanah agar dapat
menambah unsur hara atau zat makanan yang diperlukan tanah baik secara langsung
maupun tidak langsung. Pupuk organik adalah bahan organikyang umumnya berasal
dari tumbuhan dan atau hewan, ditambahkan ke dalam tanah secara spesifik
sebagai sumber hara, pada umumnya mengandung nitrogen yang berasal dari
tumbuhan dan hewan.
Suriawiria (2003) menyatakan bahwa pupuk organik
mempunyai kandungan unsur hara, terutama N, P, dan K yang relatif sedikit
dibandingkan dengan pupuk anorganik, tetapi mempunyai peranan lain yang sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan, dankesehatan
tanaman. Pengomposan menurut Yang (1997), merupakan suatu proses
biooksidasi yang menghasilkan produk organik yang stabil dan dapat dikontribusikan
secara langsung ke tanah serta digunakan sebagai pupuk. Haradaet al. (1993)
menyatakan produk dari pengomposan berupa kompos apabila diberikan ke tanah
akan mempengaruhi sifat fisik, kimia maupun biologis tanah. Dekomposisi
secara anaerobik merupakan modifikasi biologis pada struktur kimia dan biologi
bahan organik tanpa kehadiran oksigen (hampa udara).Proses tersebut merupakan
proses yang dingin dan tidak terjadi fluktuasi suhu, seperti yang terjadi
pada proses pengomposan aerobik. Proses pengomposansecara
anaerobik akan menghasilkan metana (alkohol), CO2, dan senyawa lainseperti asam
organik yang memiliki berat molekul rendah (asam asetat, asampropionat, asam
butirat, dan asam laktat).
2.2
Proses Pengomposan
Memahami
dengan baik proses pengomposan sangat penting untuk dapat membuat kompos dengan
kualitas baik. Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan
mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua
tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses,
oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan
oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat.
Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat
hingga di atas 50o 70o C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu
tertentu.
Mikroba
yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif
pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik
yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen
akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian
besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan.
Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan
komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume
maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30-40% dari volume/bobot
awal bahan.
Proses
pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen) atau anaerobik
(tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik,
dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik.
Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut
proses anaerobik. Namun, proses ini tidak diinginkan selama proses pengomposan
karena akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses aerobik akan menghasilkan
senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam
asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S.
Proses
anaerobik umumnya dapat menimbulkan bau yang tajam. Sisa hasil pengomposan
anaerobik berupa lumpur yang mengandung air sebanyak 60% dengan warna cokelat
gelap sampai hitam. Kehilangan unsur hara pada proses pengomposan secara
anaerobik sedikit, sehingga umumnya mempunyai kandungan unsur hara yang lebih
tinggi dari proses pengomposan secara aerobik (Samekto, 2006)
Proses
pengomposan dapat dipercepat jika bahan mentah kompos dicincang menjadi bahan
yang lebih kecil. Bahan yang kecil akan cepat didekomposisi karena
peningkatan luas permukaan untuk aktivitas organisme perombak(Gaur, 1983).
Menurut Murbandono (1993), sampai batas tertentu semakinkecil ukuran partikel
bahan maka semakin cepat pula waktu pelapukannya.
Rasio
Karbon-Nitrogen (C/N)Rasio C/N bahan organik merupakan faktor yang paling
penting dalam pengomposan. Hal tersebut disebabkan mikroorganisme membutuhkan karbon
untuk menyediakan energi (Gunawan dan Surdiyanto, 2001) dannitrogen yang
berperan dalam memelihara dan membangun sel tubuhnya(Triadmojo, 2001). Kisaran
rasio C/N yang ideal adalah 20-40, dan rasioyang terbaik adalah 30 (Center for
policy and Implementation Study, 1992).Rasio C/N yang tinggi akan mengakibatkan
proses berjalan lambat karenakandungan nitrogen yang rendah, sebaliknya jika
rasio C/N terlalu rendahakan menyebabkan terbentuknya amoniak, sehingga
nitrogen akan hilang keudara (Gunawan dan Surdiyanto, 2001).
Pengomposan
akan berjalan optimal pada suhu yang sesuai dengan suhuoptimum pertumbuhan
mikroorganisme perombak. Menurut Murbandono(1993), suhu optimum pengomposan
berkisar antara 35-55 oC, akan tetapisetiap kelompok mikroorganisme mempunyai
suhu optimum yang berbeda sehingga suhu optimum pengomposan merupakan integasi
dari berbagai jenis mikroorganisme.
Identifikasi
proses degradasi bahan organik pada proses pengomposan dapat dilakukan dengan
mengamati terjadinya perubahan pH kompos. MenurutCenter for Policy and
Implementation Study (1992), derajat keasaman (pH)yang dituju adalah 6-8,5
yaitu kisaran pH yang pada umumnya ideal bagitanaman. Hasil dekomposisi bahan
organik ini menghasilkan kompos yangbersifat netral sebagai akibat dari
sifatsifat basa bahan organik yangdifermentasikan. Pada pengomposan pupuk
organik padat nilai pH pada hariketiga berkisar dari 7,66-8,84 dan
hari ke-enam berkisar pada 8,66-9,08(Nengsih, 2002). Pengomposan akan berjalan
lama jika mikroorganisme perombak pada permulaannya sedikit. Mikroorganisme sering
ditambahkan pada bahan yang akan dikomposkan yang bertujuan untuk mempercepat
proses pengomposan (Indriyani, 1999).
Populasi mikroorganisme selama berlangsungnya
proses pengomposan akan berfluktuasi. Berdasarkan kondisi habitatnya (terutama
suhu), mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan tersebut terdiri dari dua
golongan yaitu mesofilik dantermofilik. Mikroorganisme mesofilik adalah
mikroorganisme yang hidup pada suhu antara 45-65 oC. Pada waktu suhu tumpukan
kompos kurang dari45 oC, maka proses pengomposan dibantu oleh mesofilik di atas
suhu tersebut (45-65 oC) mikroorganisme yang berperan adalah termofilik
(Gaur,1983 dan Center for Policy and Implementation Study, 1992).Menurut
Center for Policy and Implementation Study (1992),mikroorganisme mesofilik pada
hakekatnya berfungsi memperkecil ukuran partikel zat organik sehingga luas
permukaan partikel bertambah. MenurutGaur (1983), bakteri termofilik yang
tumbuh dalam waktu yang terbatas berfungsi untuk mengkonsumsi karbohidrat dan
protein, sehingga bahan-bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat.
2.3
Apa Itu Jerami
Jerami adalah hasil samping
usaha pertanian berupa tangkai dan batang tanaman serealia yang telah kering, setelah
biji-bijiannya dipisahkan. Massa jerami kurang lebih setara dengan massa
biji-bijian yang dipanen. Jerami memiliki banyak fungsi, di antaranya
sebagai bahan bakar, pakan ternak, alas atau lantai kandang, pengemas bahan pertanian (misal telur), bahan
bangunan (atap,
dinding, lantai), mulsa, dan kerajinan tangan.
Jerami umumnya dikumpulkan dalam bentuk gulungan, diikat, maupun
ditekan.Mesin baler dapat
membentuk jerami menjadi gulungan maupun kotak. (Sudjarad, 2008).
2.4 Peranan MOL
MOL dapat dikatakan salah satu jenis pupuk cair. Mol
juga memiliki kandungan unsur hara dan unsur hara mikro. MOL sangat berperan
dalam perangsang tanaman dan sebagai pengendalian hama dan penyakit tanaman
(Anonim, 2012).
MOL (Mikro Organisme Lokal) merupakan pemanfaatan
bakteri yang bermanfaat di sekitar yang berguna sebagai dekomposer. MOL dapat
berasal dari hasil pembusukan yang telah difermentasikan. Semakin busuk dan
halus bahan yang difermentasikan maka akan semakin cepat menjadi MOL (Anonim,
2012).
MOL yang berasal dari
buah-buahan yang sedang dibuat, yang telah/hampir busuk merupakan pembuatan MOL
yang relatif cepat dan efisien karena buah tersebut memiliki daging buah yang
halus sehingga mudah untuk busuk (Anonim, 2012).
Dalam pembuatan MOL yang lebih
cepat maka bakteri dalam larutan MOL membutuhkan glukosa, sumber bakteri, dan
karbohidrat (Anonim, 2012).
Glukosa berperan dalam sumber
energi dalam mikroba yang bersifat spontan, artinya lebih mudah untuk dimakan.
Glukosa yang dibuat dalam praktikum ini adalah gula jawa yang telah
diiris/dihaluskan serta air kelapa.
Sumber bakteri dalam MOL yang
diperoleh berasal dari buah-buahan yang telah busuk. Bakteri yang tersedia
dalam MOL biasanya lebih dari satu jenis bakteri. Jenis bakteri yang terdapat
seperti Pseudomona sp, Bacillus s, bakteri pelarut pospat,
dan Azospirillum sp, dll. Walaupun dalam praktikum
tidak adanya identifikasi jenis bakteri. Akan tetapi dapat diperoleh dari
literatur yang telah diidentifikasi.
Karbohidrat dalam MOL sangat
dibutuhkan oleh bakteri pengurai yang digunakan sebagai sumber energi. Akan
tetapi, karbohidrat tidak ada ditambahkan dalam praktikum ini. Karbohidrat
dapat berupa beras, gandum, ubi, kentang dan singkong.
Aktivator
merupakan bahan yang mampu meningkatkan dekomposisi bahan organik. Aktivator
mempengaruhi proses pengomposan melalui dua cara, cara pertama yaitu dengan
menginokulasi strain mikroorganisme yang efektifdalam menghancurkan bahan
organik (pada activator organic), kedua yaitu meningkatkan kadar N yang
merupakan makanan tambahan bagi mikroorganisme tersebut.
Setiap
organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan
yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan
bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik. Apabila kondisinya
kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman,
pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk
proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu
sendiri.
BAB III
METODE
PENELITIAN
3.1
Waktu dan Tempat
3.1.1
Pemilihan Bahan
1.
Waktu : 5
oktober 2017.
2.
Tempat : Kebun Percobaan Fakultas
Pertanian Universitas udayana. Jln. Pualu moyo, Kel. Pedungan, Denpasar, Prov. Bali.
3.
Ket
: Bahan yang dipilih yaitu kotoran babi, jerami padi, stater mikroba
dari MOL, larutan terasi dan larutan gula aren.
3.1.2
Pengumpulan Bahan
1.
Waktu
: 5 oktober 2017.
2.
Tempat : Kebun Percobaan Fakultas
Pertanian Universitas udayana. Jln. Pualu moyo, Kel. Pedungan, Denpasar, Prov.
Bali.
3.
Ket
: Kotoran babi, dedak, jerami padi dibawa olh masing-masing anggota
kelompok dan dikumpulakn.
3.1.3
Pencacahan Bahan
1.
Waktu
: 5 oktober 2017
2.
Tempat : Kebun Percobaan Fakultas Pertanian
Universitas udayana. Jln. Pualu moyo, Kel. Pedungan, Denpasar, Prov. Bali.
3.
Ket
: Jerami
Padi Dicacah ± 2 cm.
3.1.4 Pembuatan kompos / pemrosesan
1.
Waktu : 5
Oktober 2017.
2.
Tempat : Kebun Percobaan
Fakultas Pertanian Universitas udayana. Jln. Pualu moyo, Kel. Pedungan,
Denpasar, Prov. Bali.
3.
Ket
: Semua bahan dicampur jadi satu, diatur kelembabannya.
3.1.5 Pengamatan Rutin
1. Waktu :
Pengamatan pertama (5-12 Oktober 2017), pengamatan kedua (12-19 Oktober 2017), pengamatan
ketiga ( 19-26 Oktober 2017 ), serta pengamtan keempat (26-3 Oktober 2017 ).
2. Tempat : Kebun Percobaan
Fakultas Pertanian Universitas udayana. Jln. Pualu moyo, Kel. Pedungan,
Denpasar, Prov. Bali. Serta pengamatan di laboratorium. Gedung agrokomplek, Lab.
Bioteknologi tanah, kampus unud sudirman denpasar bali.
3.
Ket
: Mengamati warna, bau, tingkat kekerasan, total populasi MO, total
populasi bakteri, total populasi jamur, kadar hara ( N,P,K ), pH larutan, serta
suhu (derajat celsisus).
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
1. Ember :
untuk membuat adonan pupuk organik padat.
2. Karung goni :
untuk menutupi adonan pupuk organik padat.
3.2.2 Bahan
1.
Jerami padi : Untuk pupuk
organik padat dengan takaran 10 kg.
2.
Limbah ternak (
kotoran babi ) : Untuk pupuk organik padat dengan takaran 5 kg.
3.
Dedak : Untuk pupuk organik
padat dengan takaran 2,5 kg.
4.
Stater mikroba dari
MOL : Untuk pupuk organik padat
dengan takaran (125 ml) setegah aqua gelas.
5.
Larutan terasi : Untuk pupuk organik padat
dengan takaran (125 ml) setengah aqua gelas.
6. Kapur : Untuk pupuk organik
padat dengan takaran (10 mg ).
3.3 Rancangan/Cara Keja
1.
Jerami di
potong-potong kurang lebih 1-2 cm.
2.
Jerami yang dipotong
ditaruh dalam ember besar kemudian dicampur dengan kotoran ternak ( babi) dan
dedak.
3.
Siapkan ember,
kemudian diisi air 1 liter. Masukan stater mikrobia (125 ml), larutan gula aren
(125 ml), terasi (125 ml) di tambah kapur( 10 mg), lalu diaduk hingga
tercampur.
4.
Jerami yang telah
dipotong dan ditaruh dalam ember besar kemudian dicampur dengan dedak dan
kotoran ternak (babi) lalu diisi larutan stater mikrobia dengan takaran (125
ml), larutan gula aren (125 ml), terasi (125 ml) di tambah kapur( 10 mg), lalu
diaduk hingga tercampur.
5.
Tambahkan air
secukupnya ( 1 liter) sehingga kadar airnya 30-45 %
6.
Lalu ketika semua
bahan sudah tercampur didalam ember kemudia ember ditutup dengan karung goni.
7.
Diinkubasikan di
tempat yang tidak kena sinar matahari.
8. Diamati pada hari ke 7 ( 5-12 Oktober 2017), hari ke
14 (12-19 Oktober 2017 ), hari ke 21 ( 19-26 Oktober 2017), serta hari ke 28 (
26 Okt-3 Nov 2017 ).
3.4 Pelaksanaan/Pengamatan
1. Pengamatan dilakukan setelah inkubasi hari ke 7 ( 5-12
Oktober 2017), hari ke 14 (12-19 Oktober 2017 ), hari ke 21 ( 19-26 Oktober
2017), serta hari ke 28 ( 26 Okt-3 Nov 2017 ).
2. Sebelum pengamatan karung goni harus dibuka dari ember
agar mempermudah melakukan pengamatan, lalu pupuk organik padat yang ada didalam
ember diaduk merata agar bahan-bahan yang ada dapat tercampur dengan merata
serta diperas-peras agar semua larutannya keluar.
3. Pada pengamatan ke 14 (12-19 Oktober 2017 ) ditambah air
sejumlah 600 ml.
4. Pengamatan terakhir dilakukan pada hari ke 28 ( 26 Okt-3
Nov 2017 ).
5. Pupuk organik padat yang didapat adalah pupuk organik
padat yang berkualitas, dan siap untuk diaplikasikan di tanah.
BAB
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Tabel Gambar Pengamatan
Tgl/Hari
|
Pengamatan
|
Gambar 1
|
Gambar 2
|
5 Oktober 2017
|
Ke (0)
|
![]() |
-Belum
dilakukan pengamatan
|
5-12 Oktober
2017
|
Ke (1)
|
![]() |
![]() |
12-19 Oktober
2017
|
Ke (2)
|
![]() |
![]() |
19-26 Oktober
2017
|
Ke (3)
|
![]() |
![]() |
19 Okt-3 Nov
2017
|
Ke (4)
|
![]() |
![]() |
4.1.2
Tabel Pengamatan
Kegiatan
yang sudah dilakukan dari awal sampai akhir :
Kegiatan yang sudah saya lakukan yaitu kegiatan semua
tahap dari 1 sampai 5 berupa pengumpulan bahan, pencacahan bahan, pencampuran
bahan/pemrosesan, pemilihan bahan, dan pengamatan rutin.
Bahan yang telah dikumpulkan kemudian diproses jerami
dicacah ± 2 cm. Semua bahan kemudian dicampurkan menjadi satu, ditambah larutan
MOL sebagai dekomposer, larutan gula sebagai makanan mikroorganisme untuk
mempercepat pengomposan, dan pupuk kandang (kotoran babi) untuk menambah unsur
Ca, K dan Mg serta untuk menetralkan pH. Kompos awal tersebut lalu diletakkan
di tepat terlindung dari cahaya matahari langsung dan hujan agar tidak
menganggu proses pengomposan. Selama proses pengomposan dilakukan pengamatan
rutin dengan variabel yang diamati berupa warna, aroma/bau, tingkat kekerasan,
total populasi mikroorganisme, populasi bakteri, populasi jamur, kadar hara
(N,P,K), pH larutan, serta suhu ( derajat celcius).
Berikut
tabel data pengamatan rutin yang saya lakukan :
Umur
(hari)
|
Warna
|
Aroma
/Bau
|
Tingkat
kekerasan
|
Total
populasi MO
|
Pop.
Bakteri
|
Pop.
Jamur
|
Kadar
hara (N,P,K)
|
pH
larutan
|
Suhu
( derajat celsius)
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
7
|
Coklat
|
Berbau menyengat
|
Agak kasar dan menggumpal
|
|
|
|
|
|
|
14
|
Coklat
|
Berbau khas jerami
|
Agak lunak dari sebelumnya
|
|
|
|
|
|
|
21
|
Coklat agak
hitam
|
Berbau tetapi tidak terlalu menyengat
|
Lunak dari sebelumnya
|
|
|
|
|
|
|
28
|
Coklat kehitaman
|
Tidak berbau
|
Lunak dari sebelumnya
(Gembur)
|
|
|
|
|
|
|
Histogram
warna

Histogram
aroma/bau

Histogram
tingkat kekerasan

4.2
Pembahasan
Dengan mengetahui bahwa kualitas kompos
(pupuk organik padat) sangat dipengaruhi oleh proses pengolahan, sedangkan
proses pengolahan kompos sendiri sangat dipengaruhi oleh kelembaban dan
perbandingan C dan N bahan baku, maka untuk menentukan standarisasi kompos
adalah dengan membuat standarisasi proses pembuatan kompos serta standarisasi
bahan baku kompos, sehingga diperoleh kompos yang memiliki standar
tertentu.
Faktor – faktor yang mempengaruhi proses pengomposan yaitu : (1) Rasio C/NRasio C/N yang efektif
untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah
senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada
rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N
untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan
N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat; (2) Ukuran partikel,
aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang
lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses
dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya
ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat
dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut; (3) Aerasi pengomposan
yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi
secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan
udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos.
Aerasi ditentukan oleh posiritas dan kandungan air bahan(kelembaban). Apabila
aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau
yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau
mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos; (4) Porositas adalah ruang diantara
partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur
volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air
dan udara. Udara akan mensuplay Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila
rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan
juga akan terganggu; (5) Kelembaban (Moisture content)Kelembaban memegang
peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak
langsung berpengaruh pada suplai oksigen. Kelembaban 40 – 60 % adalah kisaran
optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas
mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban
15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara
berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi
anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap; (6) Temperatur/suhu panas
dihasilkan dari aktivitas mikroba. Semakin tinggi temperatur akan semakin
banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi.
Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur
yang berkisar antara 30 – 60oC menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat.
Suhu yang lebih tinggi dari 60oC akan membunuh sebagian mikroba dan hanya
mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga
akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma; (7) pH,Proses
pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk
proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5; (8) Lama waktu pengomposan
tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposakan, metode pengomposan yang
dipergunakan dan dengan atau tanpa penambahan aktivator pengomposan. Secara
alami pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun
hingga kompos benar-benar matang.(Jakmi,2009)
Mengetahui kematangan kompos dapat diketahui dengan beberapa cara yaitu :
(1) Dicium : kompos yang sudah
matang berbau seperti tanah dan harum. Apabila kompos tercium bau yang tidak
sedap, berarti terjadi fermentasi anaerobik dan menghasilkan senyawasenyawa
berbau yang mungkin berbahaya bagi tanaman. Apabila kompos masih berbau seperti
bahan mentahnya berarti kompos masih belum matang. Berdasarkan hasil pengamatan
bau kompos pada umur 7 hari yaitu erabu menyengat, 14 hari berbau khas jerami, 21
hari berbau tetapi tidak terlalu menyengat serta 28 hari tidak berbau; (2) Kekerasan
bahan : kompos yang telah matang akan terasa lunak ketika dihancurkan. Bentuk
kompos mungkin masih menyerupai bahan asalnya, tetapi ketika diremas – remas
akan mudah hancur, berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pupuk orgnaik
padat (kompos) pada umur 7 hari tingkat kekerasannya agak kasar dan menggumpal,
14 hari agak lunak dari sebelumnya (pengamatan 7 hari), 21 hari lunak dari
sebelumnya mendekati gembur (pengamatan 14 hari), dan 28 hari lunak dari
sebelumnya (gembur ; (3) Warna kompos : kompos yang sudah matang adalah coklat
kehitam – hitaman. Apabila kompos masih berwarna hijau atau warnanya mirip
dengan bahan mentahnya berarti kompos tersebut belum matang. Selama proses
pengomposan pada permukaan kompos seringkali juga terlihat miselium jamur yang
berwarna putih. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan warna kompos pada
umur 7 hari berwarna coklat, 14 hari berwarna coklat, 21 hari berwarna coklat
agak kehitaman, serta 28 hari berwarna coklat kehitaman; (4) Penyusutan :
terjadi penyusutan volume/bobot kompos seiring dengan kematangan kompos.
Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan tingkat
kematangan kompos. Penyusutan berkisar antara 20 – 40 %. Apabila penyusutannya
masih kecil/sedikit, kemungkinan proses pengomposan belum selesai dan kompos
belum matang; (5) Suhu : suhu kompos yang sudah matang mendekati dengan suhu
awal pengomposan. Suhu kompos yang masih tinggi, atau di atas 50oC, berarti proses pengomposan masih berlangsung
aktif dan kompos belum cukup matang.
BAB
V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Kompos (pupuk organik padat) adalah bahan organik yang
sudah terdekomposisi sebagai bahan yang sudah mengandung unsur hara yang siap
dimanfaatkan oleh tanaman. Sumber bahan-bahan kompos bisa berasal dari
sisa-sisa tanaman, hewan, limbah industri dan limbah sumber daya laut. Pemanfaatan
bahan kimia sebagai bahan tambahan sangat dianjurkan selama untuk mempercepat
proses pengomposan atau memperkaya kandungan unsur hara dalam kompos.
Dasar pembuatan kompos adalah menjadikan bahan-bahan yang
akan dikomposisikan menjadi bahan yang terdekomposisi dan bisa menyerupai sifat
humus dengan memanfaatkan faktor lingkungan yang kondusif. Ada banyak faktor
yang mempengaruhi kecepatan pengomposan. Faktor-faktor tersebut diantaranya
adalah jenis bahan kompos itu sendiri, suhu, kelembaban dan perkembangan
mikroorganisme yang berperan dalam pengomposan. Ada sekitar sejuta
mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan yang hidup dalam berbagai fase
kondisi lingkungan.
Prinsip pengomposan dibedakan menjadi 2 yaitu aerob dan anaerob. Perbedaan
kedua prinsip ini terletak pada ada tidaknya pemanfaatan udara dalam proses
dekomposisi yang berpengaruh pada perubahan zat-zat penyusun bahan kompos baik
secara fisik, biologi maupun kimia. Pada proses aerob, karbon lebih banyak
menguap menjadi karbondioksida. Terjadi
reaksi eksotermik dan sangat membutuhkan suhu tinggi
sampai 700C. Pada proses ini tidak ada bau busuk. Sementara
pada proses anaerob, sumber oksigen berasal
dari senyawa kimia yang tidak terlarut dalam oksigen. Bahan organik akan diubah
menjadi asam lemak, aldehid dan
akan dirubah lagi menjadi gas-gas seperti metan, amoniak dan hidrogen. Energi
yang dilepaskan lebih kecil dari proses aerob.
Ketepatan
mengkomposisikan bahan kompos dapat berpengaruh terhadap kecepatan pengomposan.
Waktu pengomposan akan semakin pendek jika ditambahkan aktivator dalam proses
pengomposan. Dengan bantuan mikroorganisme yang ada dalam aktivator dapat
semakin mempercepat proses peruraian bahan-bahan penyusun kompos. Berikut
adalah bahan-bahan tambahan yang dapat membantu pengomposan. Bahan-bahan ini
bisa ditambahkan ketika bahan-bahan penyusun kompos memiliki kekurangan atau
akan digunakan khusus untuk lahan yang memiliki kekurangan unsur hara.
5.2 Saran
Dalam membuat kompos sebaiknya bahan-bahan yan
dicampurkan harus sesuai dengan kebutuhan untuk membuat pupuk organik padat
(kompos). Dalam membuat pupuk organik padat (kompos) hal yang perlu
diperhatikan adalah ketepatan waktu dalam mengamati sehingga kita tahu
perbedaan dari proses dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme dengan
cara mengamatinya secara langsung melalui penetapan warna, tingkat kekerasan,
dan aroma/bau.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonymous,2017. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/buku/pupuk3/pupukkompos.pdf.
Diakses pad 14 Oktober 2017.
Bahar,
F.A. dan Z. Abidin. 1992. Kepentingan pengelolaan gulma dalam pembangunan
pertanian di Indonesia Bagian Timur. Makalah Utama Kongres dan Seminar Nasional
HIGI XI. Ujung Pandang.
Djuarnani, Nan. 2005. Cara Cepat Membuat
Kompos. PT. Agromedia Pustaka. Depok
Lingga, Pinus. 2006. Petunjuk Penggunaan Pupuk.
Penebar Swadaya. Depok
Noor,
A., A. Jumberi, dan R.D. Ningsih. 1996. Peranan pupuk organik dalam
meningkatkan hasil padi gogo di lahan kering. hlm. 575-586. Dalam M.
Sabran, H. Sutikno, A Supriyo, S. Raihan, dan S. Abdussamad (Ed.). Prosiding
Seminar Teknologi Sistem Usahatani Lahan Rawa dan Lahan Kering. Balai
Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa, Banjarbaru.
Sutejo, Mul Mulyani. 2002. Pupuk dan Cara
Pemupukan. PT. Rineka Cipta. Jakarta
Guntoro Dwi,dkk.
2003. Pengaruh Pemberian Kompos Bagase Terhadap Serapan Hara Dan
Pertumbuhan Tanaman Tebu(Saccharum officinarum L.). Dalam Buletin Agronomi, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor.
IFOAM, 2005.
Prinsip-Prinsip Pertanian Organik (terjemahan). International Federations of
Organic Agriculture Movements. Bonn,Germany
Kurnia, K.P. Arbianto
dan I.N.P. Aryantha (2003). Studi Patogenitas Bakteri Entamopathogenik
Lokal pada Larva Hyposidra Talaca Wlk dan Optimasi Medium Pertumbuhannya.
Seminar Bulanan Bioteknologi – PPAU Bioteknologi ITB, 15 September 2004,
Bandung.
Pirngadi K.,
2009. Peran Bahan Organik dalam Peningkatan Produksi Padi Berkelanjutan
Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Pengembangan Inovasi Pertanian 2(1)
: 48-64
Purwasasmita, M. 2009.
Mikroorganisme Lokal Sebagai Pemicu Siklus Kehidupan. Dalam Bioreaktor Tanaman.
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia, 19-20 Oktober 2009.
Sisworo, W.H.,
2006. Swasembada Pangan dan Pertanian Berkelanjutan. Tantangan Abad
Dua Satu : Pendekatan Ilmu Tanah, tanaman dan Pemanfataan Iptek
Nuklir. Dalam A. Hanafiah WS, Mugiono,dan E.L. Sisworo. Badan Tenaga Nuklir
Nasional, Jakarta. 207 hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar